Quantcast
Channel: Mugniar | Mamak Blogger Makassar
Viewing all 2017 articles
Browse latest View live

Atmaji Sapto Anggoro, Sosok di Balik Tirto.id

$
0
0
Akhir-akhir ini saya sering mendengar tentang Tirto.id dari suami saya. Pak suami sering membaca ulasan mengenai sejarah dan politik di portal tersebut. Suatu kali, teman-teman blogger ramai membincangkan sebuah artikel di Tirto.id yang berjudul Di Balik Keputusan Google Suntik Mati Beberapa Layanannya. Di waktu lain, nama portal artikel ini lewat di depan mata saya saat sedang online. Kamis malam - dua pekan lalu, acara Rosi di Kompas TV sedikit menyinggung Tirto.id sehubungan dengan berita yang lagi hangat mengenai Panglima TNI, Gatot Nurmantyo. Tirto.id mengangkat reportase jurnalis Allan Neirn tentang upaya kudeta atas Presiden Jokowi dengan sasaran antara aksi bela Islam gara-gara Pak Ahok. Tidak dipungkiri, Tirto.id kini menjadi fenomena tersendiri.


Apa itu Tirto.id?

Tirto.id adalah media online terkini. Menyajikan tulisan dan infografik berita nasional dan internasional serta analisis berdasarkan fakta dan data (aboutTirto). Hasil penelusuran saya menggunakan www.visitorsdetective.com menemukan bahwa:
www.tirto.id is one of the biggest websites in the world! It is bigger than 100% of all other websites.

Salah satu website terbesar di dunia! Wow! Disebutkan di situ bahwa website ini terletak pada peringkat keenam dunia dengan jumlah visitor per hari sebanyak 220.169. Ini pencapaian yang luar biasa mengingat usia website-nya yang baru 1,3 tahun[1]. Bandingkan dengan www.expressen.se di peringkat kelima. Website berbahasa Swedia yang usia website-nya sudah 20,6 tahun ini jumlah visitor-nya per hari273.649.

Tirto.id mampu menyedot perhatian masyarakat Indonesia karena cara penulisan artikelnya berbeda daripada penulisan artikel di portal-portal online lainnya. Konten Tirto.id ditulis dengan cara yang berbeda dan bahasannya jauh lebih mendalam. Menurut suami saya, beliau sering mendapatkan sesuatu yang baru ketika membaca Tirto.id. Wow!

Siapakah sosok di balik Tirto.id?

Profil pendiri Tirto.id dengan mudah dapat ditemukan di Wikipedia[2]. Namanya adalah Atmaji Sapto Anggoro, akrab disapa Sapto. Dia lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 4 Oktober 1966. Usai menamatkan pendidikannya di SMAN 1 Jombang, Sapto meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS). Sapto memulai karier kewartawanannya di Surabaya Post, Harian Buana, dan Republika.

Hasil penelusuran saya ketika mencari traffick Tirto.id

Saat berselancar di Selasar[3], saya menemukan dua ulasan dari orang-orang yang mengetahui latar belakang pendiri Tirto.id. Di media sosial itu, Arfi Bambani - Chief Content Officer Selasar[4]menceritakan tentang Sapto yang sebelum bergabung di Detik.com menjadi “pemasok berita” melalui Budiono Darsono. Budi Darsono[5]adalah salah satu pendiri portal berita Detik.com. Sapto kemudian menjadi wartawan 01-nya Detik.com. Seperti karyawan-karyawan awal Detik.com lainnya, Sapto berhak mendapatkan Employee Stock Option (ESOp), yaitu hak mendapatkan dividen jika Detik.com mendapatkan keuntungan.

Hal menarik mengenai kemampuan lelaki yang "suka"bisnis media dalam dunia jurnalistik yang ditulis Arfi adalah:
Sapto adalah karyawan detik.com yang ilmunya paling mumpuni karena pernah menjajal berbagai posisi, mulai dari konten, marketing sampai HRD. (Mungkin kemumpunian ini yang kemudian hari membuat beliau sukses di berbagai startup yang dikembangkannya).

Sapto lalu keluar dari Detik.com dan menjual ESOp yang diperolehnya. Ia lantas mendirikan Merdeka.com atas inisiatif rekan sekaligus investor Steve Christian. Dalam kurun waktu dua tahun Merdeka.com posisi tiga besar media online nasional.

Salah satu ventures capital dari Singapore masuk dengan nilai yang tidak kalah besar dari Detik.com sebelumnya. Di Merdeka.com, Sapto menulis kolom Entrepreneurship. Setiap pekannya ia menulis dan mencari ide tulisan tentang bagaimana ide-ide sederhana bisa menghasilkan bisnis. Ada yang fakta namun ada yang rekaan. Tanpa sadar dalam waktu setahun lebih, ada 70-an tulisan dihasilkan. Dari ketujuhpuluhan tulisan itu disortir hingga tinggal 40-an dan dibukukan ke dalam buku berjudul Mantra Justru.

Mantra Justru bukan buku pertama Sapto. Sebelumnya, dia pernah menerbitkan buku berjudul Legenda Media Online. Buku itu memuat rangkaian mozaik yang terpisah-pisah selama dia bekerja di Detik.com. Ada pula wawancara para pendiri yang sebagian sudah keluar dan mencari teori tentang 3W (what, where, when) yang dipakai Detik.com.

Sapto merasa penting membuat buku Legenda Media Online karena baginya Detik.com sebagai media online kenamaan Indonesia, layak didokumentasikan. Dia memberanikan diri karena terlibat sejak awal Detik.com beroperasi meskipun bukan pemilik ataupun pendiri.

Atmaji Sapto Anggoro berbagi ilmu dengan Tim Selasar di Padepokan Asa. Sumber:
https://www.selasar.com/question/12159/Siapa-Atmaji-Sapto-Anggoro-Pendiri-dan-CEO-Tirto-id

Tentang Atmaji Sapto Anggoro, rupanya tak hanya terbatas pada apa yang saya tuliskan di atas. Lelaki yang pernah menjadi CNO Kapanlagi Network ini juga anggota pendiri PANDI[6] dan mantan Sekretaris Jenderal APJII[7] periode 2012-2015. Ia merupakan pendiri Media Monitoring Binokular[8], dan pendiri Padepokan ASA di Wedomartini, Yogyakarta. Padepokan ASA[9]ditujukan sebagai inkubator dan jembatan bagi organisasi dan komunitas agar dapat lebih merangkul masyarakat.

Miftah Sabri – Pendiri dan CEO Selasar menulis di Selasar bahwa anak anak muda antusias menggali ilmu di padepokan seluas 2000 meter persegi yang terletak di tengah persawahan yang asri tersebut[10]. Di dalam tulisannya, Miftah berkisah mengenai pengalamannya menemui Sapto yang berbagi ilmu di Padepokan Asa.

Well, hasil penelusuran kali ini membuat saya berdecak kagum. Semoga semua yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh Atmaji Sapto Anggoro bermanfaat bagi masyarakat luas dan menuai berkah dari Allah SWT.

Makassar, 19 Mei 2017


Catatan kaki:


[1] Usia domain saya cek di www.seoreviewtools.com
[2] Profil Atmaji Sapto Anggoro: https://id.wikipedia.org/wiki/Atmaji_Sapto_Anggoro
[3]Selasar.com adalah medsos yang mempertemukan banyak orang. Tak cuma bertegur sapa, Selasar bisa menjadi wahana bertukar ide, gagasan, pengalaman, pengetahuan, insight, dan hal-hal positif lainnya (https://www.selasar.com/question/3882/Apa-itu-Selasar)
[4] Sumber: https://www.selasar.com/question/12159/Siapa-Atmaji-Sapto-Anggoro-Pendiri-dan-CEO-Tirto-id
[5] Profil Budi Darsono: https://id.wikipedia.org/wiki/Budiono_Darsono
[6] PANDI merupakan organisasi nirlaba yang dibentuk pada 29 Desember 2006 oleh Pemerintah Republik Indonesia bersama komunitas internet Indonesia. PANDI dibentuk untuk mengelola nama domain .ID secara profesional, akuntabel, dan transparan sesuai dengan kaidah hukum Republik Indonesia. Sumber: https://pandi.id/profil/tentang-pandi/.
[7] APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia). Sumber: https://www.apjii.or.id/pengurus/latar_belakang
[8] http://www.binokular.net/why
[9] http://www.padepokan.id/tentang-kami/
[10] Sumber: https://www.selasar.com/question/12159/Siapa-Atmaji-Sapto-Anggoro-Pendiri-dan-CEO-Tirto-id

Kafe yang Salah

$
0
0
Padahal saya sudah pernah ke rumah Fahira, kawan Athifah. Seharusnya saya tahu rumahnya. Rumahnya terdiri atas bangunan dua lantai. Yang bagian bawahnya dijadikan kafe sementara Fahira sekeluarga tinggal di lantai duanya. Kali ini saya harus ke sana lagi untuk menjemput Athifah yang tanpa bilang-bilang pergi ke sana sepulangnya dari sekolah. Untungnya saya mendapat kabar dari salah seorang kawan Athifah yang lain jadi saya menyusulnya ke sana. Kali ini saya kalang-kabut karena papanya tak bisa menjemputnya seperti biasa dikarenakan adanya pekerjaan penting yang harus Papa selesaikan.

Eh tunggu dulu, saya bukannya langsung ke rumah Fahira. Saya ke rumah Safira dulu. Karena kabar yang saya terima Athifah berada di rumah Safira. Rumahnya di dekat sekolah juga. Tapi hanya tas sekokahnya yang ada di sana. Athifah dan Safira pergi ke rumah Fahira. Begitu, kejadiannya.


Karena sudah lupa-lupa ingat, saya menanyakannya kepada ibunda Safira, “Apa lagi namanya kafenya Fahira, Bu?”

“Apa itu, ya ... ,” ibu Safira bergumam sendiri. Dia kelihatan sedang mencoba mengingat-ngingat.

“Dottoro. Di dekat masjid itu. Dekatnya apotek Farida Farma,” jawabnya.

“Ah iya, Dottoro. Cocok mi. Kafe Dottoro,” saya membenarkan jawabannya lalu pamit menuju kafe Dottoro di jalan Rusa.

Menyusuri jalan Rusa, saya tak menemukan kafe Dottoro. Hingga akhirnya masjid di jalan Rusa terlewati sudah. Waduh. Tidak mungkin salah. Saya pernah ke kafe milik orang tua Fahira. Dan letaknya memang dekat masjid. Di mana, ya bangunan itu? Mengapa saya tak menemukannya?

“Balik ki’, Daeng. Di sekitar sini ji kafenya,” saya memerintahkan tukang bentor untuk memutar balik arah. Lalu memutuskan untuk melakukan hal yangpaling masuk akal saat itu: BERTANYA. Saya bertanya kepada tukang parkir depan masjid, “Pak, di mana kafe Dottoro?”

Lelaki itu menggeleng. Entah dia tak tahu atau menurutnya tak ada kafe bernama Dottoro di jalan Rusa. Rasanya tidak mungkin dia tak tahu kafe dekat masjid. Saya mengganti pertanyaan karena masih yakin kafe yang saya tuju ada di sekitar situ, “Pak di mana ada kafe di sini?”

“Dua ji kafe di sini. Di sana (si tukang parkir menunjuk ke seberang masjid) dan di sana (tukang parkir lalu menunjuk ke arah di mana posisi kafe Dottoro yang saya perkirakan, yaitu di sisi kiri masjid),” tukang parkir itu kelihatan mantap sekali menjawab pertanyaan saya.

Baiklah, pasti yang di sisi kiri masjid rumah Fahira .

“Nah, yang sebelah sana (saya menunjuk arah sisi kiri masjid). Yang mana itu, di’?” saya mencoba memperjelas lagi. 

“Itu sana, yang papannya warnanya kuning!” lelaki itu menunjuk ke arah sebuah papan berwarna menyolok terletak. Posisi papan petunjuk nama kafe itu persis di tepi jalan.

OMG

Di situ saya merasa konyol dan geli sama diri saya sendiri. Sebab kafe yang saya maksud itu ternyata namanya BUNDU, bukannya DOTTORO. Dan saya baru sadar kalau dari dulu namanya memang BUNDU, bukan yang lainnya. 😔

Makassar, 20 Mei 2017



Menganalisa Berita yang Sensitif Gender dan Peduli Anak

$
0
0
Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari tulisan berjudul KPPPA, Tentang Partisipasi Media dalam Menulis Isu Perempuan dan Anak,  Menuju Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan,Bagaimana Media Memahami Gender, dan Jurnalisme Sensitif Gender dan Peduli Anak yang merupakan catatan dari Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender Bagi Jurnalis dan Blogger. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan pada tanggal 21 – 22 April lalu di hotel Aryaduta.

Bukan pelatihan namanya kalau tak ada praktik. Di pelatihan ini, praktik yang dilakukan adalah menganalisa berita yang dipilihkan oleh para fasilitator secara berkelompok. Pastinya, berita yang dibagikan ditulis dalam gaya bahasa yang tidak benar (kalau benar, tidak mungkin disuruh menganalisanya, yak hehe).


Saya masuk ke dalam kelompok 3, semuanya perempuan. Ada dua jurnalis senior di situ: Bu Maya dari stasiun televisi Ve Channel dan Bu Ajra (kontributor The Jakarta Post). Saya blogger yang beruntung, bisa terpilih mengikuti pelatihan ini, bersama blogger lainnya yang menggeluti dunia dongeng: Kak Heru. Oya, ada satu blogger lagi, sih tapi saya tidak mengenalnya. Para peserta lainnya kebanyakan dari media mainstream dan media online. Yang blogger hanya kami bertiga.

Analisa Biasnya


Pada sesi praktik ini kami harus menganalisa isi berita: ada bias apa saja di dalam berita dan bagaimana sebaiknya agar penulisan berita tidak bias gender. Satu-satunya yang paling muda dalam kelompok kami: Eci (presenter Inews TV Makassar) kebagian tugas mengetik hasil diskusi dan mempresentasikannya di depan para peserta lainnya dan para fasilitator.

Analisa Identitas Korban dan Profesi Pelaku Kejahatan


Kelompok kami mendapatkan berita berjudul  Berdua di Indekos, Buruh Bangunan Gauli ABG. Tadinya saya ingin memindahkan di sini isi beritanya supaya pembaca blog ini bisa ikut belajar bersama saya. Tapi saya tak tega karena berulang kali penulis berita ini menuliskan identitas korban perkosaan 😓. Padahal menuliskan identitas tidak dibenarkan. Memang bukan nama lengkap si korban yang dituliskan. Masalahnya, si wartawan menuliskan nama lengkap kakak korban dan tempat kos kakak korban, di mana insiden perkosaan terjadi. Ya sama saja, toh. Dengan demikian, identitas lengkap dari korban akan diperoleh dengan cepat.

Saat berdiskusi kelompok, saya mempertanyakan mengenai penyebutan profesi korban yang menurut saya tidak penting. Namun kata Bu Ajra, pada identitas profesi itulah letak nilai beritanya. Ketika sesi presentasi, Bu Ruth Indiah Rahayu menanyakan perihal penulisan profesi ini kepada dua fasilitator lainnya yang mantan jurnalis (tetapi masih bergelut dalam dunia edukasi jurnalistik).

Foto bareng peserta dan fasilitator pelatihan. Sumber: rumahdongeng.id

Pada perspektif Bu Ruth, profesi “buruh bangunan” sebaiknya tidak usah dituliskan karena terlihat bias profesi. Buruh bangunan seolah-olah ditempatkan sebagai profesi yang rentan melakukan perilaku asusila. “Mengapa tidak menyoroti bahwa ini dilakukan orang dekat?” tandasnya. Iya, sih, ya. Sebaiknya kan ditekankan bahwa perkosaan kebanyakan dilakuka oleh orang dekat korban (dalam hal ini teman sekamar dari kakak korban). Lebih baik masyarakat diajak untuk lebih mewaspadai orang-orang di sekitarnya, bukannya membuang waktu dengan membahas profesi pelaku dan tempat kejadiannya (berulang kali pula ditekankan tempat kejadian adalah di indekos kakak korban, seolah-olah mengajak pembacanya untuk melabeli negatif tempat kos).

Di sini saya mempertanyakan lagi kepada para fasilitator. Mengingat yang dituliskan profesinya untuk “kasus istimewa” sebenarnya bukan hanya profesi buruh bangunan, setahun saya. Sering kali profesi-profesi lain disebutkan, seperti: guru, anggota DPR(D), pejabat, PNS. Begitu pun predikat semisal ibu rumah tangga dan ABG.

Saya pribadi berpikirnya, apa iya penting menuliskan profesi? Sebagai orang yang melakukan kejahatan, profesi tidak lagi penting. Semua orang toh sama di mata hukum. Entahlah. Tapi menurut kedua fasilitator lainnya: Pak Ignatius Haryanto dan Pak Ambang Priyonggo, penulisan profesi tidak mengapa. Sah-sah saja. Beda persepsi. 😊

Penting Atau Tidak?


Menarik menyimak presentasi kelompok-kelompok lain. Ada berita online yang mengekspos seorang perempuan cantik asal Filipina berkulit putih yang bersuamikan lelaki yang warna kulitnya gelap. Ada juga yang membahas habis Ayu Ting Ting yang kedapatan kamera sedang menggaruk bagian tubuhnya hingga menyebabkan pakaiannya tersingkap. Huh, kurang kerjaan benar nih jurnalisnya. 😠

Contoh berita tak elok. Perhatikan yang dilingkari di sebelah kanan. Dua berita tak elok
menempati posisi berita terpopuler.

Oleh Pak Ignatius diberikan satu pertanyaan kunci untuk menuliskan berita supaya tidak terpengaruh menulis hal-hal aneh seperti itu: Berita pentingkah ini? Jawabannya tegas: TIDAK!

Bu Ruth mengatakan kepada para peserta pelatihan, “Problem gender tidak pernah berdiri sendiri, akan dikaitkan dengan problem lain: ras, suku, anak, lansia, kelas, atau agama!” Okay, Ma’am. Noted.

Batasan Kejahatan Seksual Itu Bagaimana?


Saat ada yang bertanya tentang batasan maksud kata “perkosa”, Bu Ruth menjelaskan, “Perkosaan adalah ketika perempuan pada pihak yang lemah. Pelaku pasti punya power lebih besar daripada korban. Kedua, pasti ada pemaksaan, inisiatif pelaku sendiri. Perkosaan itu satu pihak tidak bersedia. Begitu pun pelecehan seksual: korban tidak bersedia. Batasan itu menurut CEDAW[1] dan Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, termasuk batasan kekerasan seksual, sunat perempuan, perkosaan. Ini pegangan untuk memberitakan kasus kekerasan kepada perempuan!”

Beda Siswa dan Siswi yang (Ngebet) Nikah


Ada satu judul berita yang juga luar biasa memuakkan: Yaelaaaa ... Lima Siswi Gagal Ujian Gara-gara Ngebet Nikah. Dalam diskusi antara peserta dan fasilitator disebutkan bahwa judul berita ini terlalu menghakimi. Seharusnya dicermati konteksnya seperti apa sehingga tidak mudah jatuh pada klaim sepihak. Itu akan merugikan perempuan. Dalam kasus seperti ini biasanya siswi yang diberitakan. Siswa tidak. Sayang sekali, banyak sekolah tidak membolehkan ikut ujian siswi yang nikah muda sementara siswa yang nikah muda tidak mengapa ikut ujian. Seharusnya ketidakadilan ini yang dibahas media. Kebijakan pemerintah banyak yang tidak konsisten. Sangat penting untuk dicermati jurnalis.

Berita tak elok lainnya

“Tidak memberitakan apa yang terjadi tapi apa yang ada di balik peristiwa itu. Maknanya cukup dalam: kebijakan pemerintah yang sangat diskriminatif terhadap siswi. Ada kebijakan yang mereduksi hak untuk mendapatkan pendidikan,” tegas Pak Ambang Priyonggo.

Tentang Politisi Perempuan


Judul berita lain yang didiskusikan bersama adalah ERMALENA, Politisi yang Hobi Kunjungi Pelosok. Konten berita ini sama anehnya dengan yang lain. Diskusi kami mengungkap beberapa hal, sebagai berikut:
  • Garing sekali, tidak ada kutipan. Idenya orang ini tidak kelihatan. Apa yang membuat dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, apa kekuatan dia?
  • Selidiki, wartawannya ambil berita dari mana? Dari CV (curriculum vitae)? Ambil berita dari berita online lain? Kalau menggambarkan profil atau aktivitas politik, tidak cukup dari CV saja. Pun kalau diwawancarai, belum cukup. Perlu cek konstituennya. Di lapangan dia seperti apa? Kalau hobi kunjungi pelosok, tanyakan apakah dia paham masalah-masalah di tempat konstituennya?
  • Ketika menggambarkan politisi perempuan, idenya apa dan kegiatan kepolitikannya apa tidak disebutkan oleh wartawannya. Sering pula dikaitkan dengan bapaknya yang (mantan) orang penting (subordinasi). Seolah-olah politisi perempuan tidak punya kapabilitas sendiri.



Tak terasa pelatihan hari kedua harus berakhir. Di penghujung acara, Pak Didik dari KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) menutup acara dengan sambutannya, “Pelatihan ini memberikan gambaran, mengharapkan media di Makassar untuk mengaktualisasikan apa yang sudah disampaikan para nara sumber, menjadi jurnalis yang sensitif gender. Langkah ke depan mengharapkan tahun 2018 akan mengadakan kerja sama lagi dengan LSPP dan AJI, yang luas lagi di seluruh Makassar.”

***

Well done Pak Didik, saya berharap akan ada keberlanjutan dari kegiatan ini. Terima kasih kepada KPPPA dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang sudah memberikan saya kesempatan mengikuti pelatihan luar biasa hingga sesi Menganalisa Berita yang Sensitif Gender dan Peduli Anak ini. Semoga kualitas kami dalam menulis semakin baik.

Makassar, 20 Mei 2017

Selesai




[1] Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standard internasional yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981 (sumber: www.odhaberhaksehat.org).

Make Up No Make Up di Beauty Class Sophie Paris

$
0
0
Beauty class. Ingin juga saya mengikuti kelas beauty kalau cuma-cuma. Saya ingin tahu hal mendasar saja. Soalnya selama ini pengetahuan berdandan saya minim sekali. Cuma dulu pernah diberi tahu kalau sebelum pakai bedak, pakai foundation dulu. Nah, bedak apa saja yang cocok untuk saya, saya tidak begitu tahu.


Kebetulan, saya sedang ingin membeli bedak. Dan kebetulan ada undangan beauty class. Maka kenapa tidak, saya manfaatkan untuk mengetahui bedak apa yang cocok untuk saya. Selama ini saya lebih banyak menggunakan bedak bayi saja (jangan ketawa, yah). Saya juga ingin tahu tentang foundation lalu pernak-pernik bedak (mana tahu ada, kan?).

Maklum, saya bukan orang yang nyaman dengan dandanan ala perempuan modern. Cukup pakai krim wajah dan bedak saja. Supaya tidak mudah terbakar sinar matahari. Dan semakin lama, tentunya kulit wajah harus makin diurus karena makin mudah terlihat kusam dan tanda-tanda penuaan sudah perlahan muncul.

Beauty class ini berlangsung tanggal 24 April 2017 di ruang pertemuan kantor cabang Sophie di jalan Veteran Utara, tepatnya di ruko Metro Square F4 – F5. Dari blogger Kelas MAM yang ikut hanya saya, Ayunda, dan Suryani. Peserta-peserta lainnya adalah member Sophie Paris. Tahu, kan Sophie Paris? Sebuah perusahaan MLM yang dulu terkenal dengan produk tas dan dompetnya yang keren-keren dan tahan lama. Acara dibuka oleh Mbak Anindya, pemimpin di Sophie Paris cabang Makassar. Trainer-nya adalah Mbak Poppy Sri Wahyuni, dari Jakarta. Beliau memang beauty trainer yang sudah 7 tahun mendukung Sophie Paris.


Sophie Paris sekarang ternyata tidak hanya mengeluarkan fashion (tas, dompet, baju, sepatu, dan aksesoris) dan beauty (produk kosmetik). Ada juga barang-barang yang masuk dalam kategori healthy living.

Kata Mbak Poppy, trend make up tahun 2017 adalah “Make up No Make up” (riasan yang seperti tak berias, begitu kira-kira pengertiannya). Yang penting adalah menunjukkan bagaimana make up yang sehat, yaitu:
  • Menunjukkan kulit wajah bersih dan glowing.
  • Flawless make up.
  • Wajah alami tanpa kontur berlebih.
  • Menunjukkan kulit sehat.

“Fokusnya di kulit,” kata Mbak Poppy.



Kemudian masuk pada tahapan make up. Di antara semua rentetan cara make up, ada tahapan yang boleh tidak diikuti semua orang (“Saya pasti nih,” saya sudah membatin demikian). Yang jadi relawan “before-after”-nya Mbak Poppy adalah Bu Asmita, salah seorang member Sophie Paris.

Saya memperhatikan tahapan awal, complexion. Yaitu dimulai dari pemakaian foundation (alas bedak). Di Sophie Paris ada dua macam foundation: BB Cream untuk yang berkulit sehat dan Daily Muslimah. Daily Muslimah, untuk yang kulitnya bernoda cocok karena ada kandungan olive oil-nya.

Cara pemakaian foundation diperlihatkan Mbak Poppy: ditepuk-tepuk supaya menempel baik di wajah. Jangan diusap. Mulai satu titik, lalu ke titik-titik lainnya secara berurutan. Jangan meletakkan banyak titik foundation di wajah. Karena pasti akan ada yang mengering lebih dulu sehingga nanti efeknya tak baik di wajah. Oleskan tipis-tipis saja, jangan di-double kalau belum perlu.



Nah, setelah itu, pakai bedak tabur. Caranya adalah dengan menepuk-nepukkannya di wajah. Bukan diusap. Ingat, jangan mengerutkan wajah. Nanti bedaknya berkerut juga, hehe. Bedak tabur dipakai agar nanti wajah tidak mengilap. Setelah itu pakai bedak two way cake. Tahapan yang ini bisa dilewati, demikian kata Mbak Poppy.

Nah, Mbak Poppy ini mengusulkan jenis foundation dan bedak tabur untuk saya. Dia mengusulkan bedak tabur saja tak usah bedak padat (two way cake). Karena katanya kulit wajah saya cukup terang, begitu.

Nah, saya melewati bagian-bagian lain, seperti pemulas pipi, pinsil alis, eye shadow, dan maskara. Pada bagian lipstik, saya memperhatikan dan langsung tertuju pada lipstik Lipnicure yang sewarna bibir. Yeah, tema tahun 2017 ini saya banget. Meskipun yang diperlihatkan Mbak Poppy pada Bu Asmita bukan murni make up yang flawless. Hanya saya satu-satunya yang di ruangan itu yang nyaris polos hihi.


Mbak Poppy menghadiahi saya sebuah pouch mungil berisi 3 buah parfum. Katanya sebagai hadiah peserta tercepat. Asyik. Padahal saya datangnya telat 30 menit, lho. Itu sudah yang paling cepat. Peserta beauty class lain ada yang telatnya hampir sejam.

Mumpung lagi butuh, saya langsung membeli foundation danbedak tabur yang disarankan Mbak Poppy. Saya juga membeli lipstik Lipnicure yang warna natural. Mumpung pendaftaran lagi murah, sekalian saja saya bergabung jadi member. Mbak Anin memperlihatkan kepada saya bagaimana menggunakan aplikasi Sophie Paris (iya, Sophie Paris ada aplikasinya juga!). Hm ... pengalaman seru bagi saya. Terima kasih Mbak Anin, Mbak Poppy, dan Sophie Paris cabang Makassar.  


Makassar, 23 Mei 2017

Pertanyaan Mengesankan

$
0
0
Saban maghrib, seorang pedagang bakso bakar stand by di depan rumah – di pojok kanan tepatnya. Sering kali saya bisa mendengar dengan jelas perbincangannya dengan para pelanggannya dari dalam rumah. Oleh para pelanggannya, si pedagang bakso bakar ini disapa “Mas”.

Saat itu, seorang anak mengajak si Mas ngobrol.

“Ada anak ta’, Mas?” tanya bocah.
“Ada,” jawab si Mas.
“Berapa?”
Satu.”
Ada saudara ta’?”
“Ada.”
“Berapa?”
“Empat.”
“Ada suami ta’?”

Lah? Nanya suami sama si Mas?😄 
Pembicaraan berlanjut pada pertanyaan yang nyaris membuat saya ngakak, “Orang apa ki’, Mas?” Untungnya nyaris ngakaknya tak lama. Saya tiba-tiba teringat pengalaman ketika kursus Bahasa Inggris saat kelas satu SMP dulu.

Saat itu, tiap hari kursus di Ever On English Course, saya harus memikirkan kalimat tanya apa yang akan diberikan kepada teman-teman. Dalam latihan conversation, kami disuruh saling bertanya satu sama lain, dan saling menjawab pertanyaan itu oleh Pak Eisenring – guru kursus kami.

Saya harus mencari bentuk pertanyaan lain. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah sering saya pakai:
  1. What’s your name?
  2. What is your hobby?
  3. Do you have grand mother?
  4. Do you have any sisters?
  5. How many sisters do you have?
  6. What is your father’s name?
  7. Etc.

Maka pada suatu hari, saya mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak biasa. Saya memperhatikan betul grammar-nya. Jangan sampai salah ucap. Saya juga memastikan belum pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan yang saya siapkan itu dari kawan-kawan sekelas saya.

Hingga tiba gilirannya saya bertanya: “Do you have parents?”

Seketika seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Bahkan guru juga tersenyum. “Nassa mi (tentu saja)!” jawab seorang teman.

Bermenit-menit kemudian saya bingung, mengapa kawan-kawan tertawa. Hingga pulang ke rumah saya belum mendapatkan alasan logisnya. Apa yang salah dari pertanyaan saya?

Barulah beberapa lama kemudian (lama, deh pokoknya hahaha), saya mendapatkan jawabannya. Bahwa pertanyaan itu jawabannya jelas. Setiap orang pasti mempunyai orang tua. Kalau tidak, bagaimana mereka bisa ada di dunia ini? 😀😝😓

Akhirnya saya paham. Meski secara grammar benar, pertanyaan itu terlalu aneh untuk dilontarkan. Pertanyaan yang jelas jawabannya begitu, untuk apa ditanyakan, buang-buang energi, kan? 😎

Nah, begitu pun pertanyaan anak kecil itu kepada Mas penjual bakso bakar. Anak itu kemungkinan baru kelas 2 atau 3 sekolah dasar. Persepsi dia masih terbatas, baru pada tahap merasa si Mas bukan orang sini karena logatnya asing makanya dia menanyakannya. Padahal kan perkara panggilan “mas” sudah jelas menunjukkan si Mas orang Jawa. Nah, dia tidak tahu hal itu. Sama halnya dia tidak tahu kalau kata sapaan kepada lelaki di Betawi dan Sumatera itu “Bang”, bukannya “Mas”. Atau di Jawa Barat Kang, bukannya Mas. Dia pun pasti tak tahu kalau di Jawa, selain panggilan Mas, ada juga panggilan Kang.

Persepsi orang berbeda. Makanya pendapatnya berbeda. Kalau ada ucapannya yang aneh di telinga, bisa jadi karena keterbatasan pengetahuan orang itu. Saya belajar (lagi) tentang hal ini dari bocah lelaki yang saya dengar suaranya itu.

Ah, maaf – saya mengira-ngira dia bocah lelaki karena saya merasa mengenali suaranya. Suara seorang bocah lelaki ramah yang tinggal di dekat rumah kami. Dia juga beberapa kali beramah tamah dengan saya, menanyakan ini itu meski kami sebenarnya tak akrab - kalau dia benar, anak lelaki yang saya perkirakan.

Bisa saja saya salah. Bukan suara bocah yang di pikiran saya itu yang bertanya pada si Mas. Yang jelas, kemampuan bawaan dari anak dalam ingatan saya dan dirinya sama persis: mampu dengan cepat menjalin komunikasi dengan orang lain. Anak ini juga punya modal kepercayaan diri yang bagus dan kemampuan komunikasi yang bagus. Semoga saja kedua orang tuanya memahami dan mampu mengarahkannya dengan baik sehingga bisa menjadi seseorang yang bermanfaat dalam passion-nya.


Makassar, 24 Mei 2017

Pasal Orang Tua Menyuruh Anak

$
0
0
“Ma, tidak boleh, toh orang tua menyuruh anak kerjakan pekerjaan rumah?” tanya Athifah suatu ketika.

“Ha? Maksudnya apa? Apa yang disuruh kerjakan?” tanya Mama.

“Misalnya, disuruh cuci piring, cuci mobil.”

"Mobil orang tuanya?"

"Iya."

“Ooh, kalau tujuannya untuk mengajarkan anaknya supaya terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah, tidak apa-apa. Kan nanti suatu saat kalau anaknya sudah tidak tinggal sama orang tuanya dia bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Ada, lho yang sudah kuliah ke kota lain, pasang seprei saja tidak tahu. Nah, Athifah tahu caranya pasang seprei tidak?”


Athifah menggelengkan kepalanya.

“Mama dulu, masih es de sudah bisa memasang seprei,” ujar Mama lagi.

Nona mungil itu terdiam. Rupanya jawaban Mama masuk akal buatnya. Mama tidak mengada-ada. Mama pernah mendengar penjelasan dari seseorang yang ahli dalam hal anak-anak. Bahwa untuk melatih anak mengerjakan pekerjaan rumah, tidak mengapa. Tujuannya agar anak bisa mandiri. Yang tidak boleh itu kalau anak dipekerjakan agar bisa membiayai dirinya dan orang tuanya. Itu namanya eksploitasi anak.

Pertanyaan Athifah ini bermula dari percakapannya dengan seorang teman sekolahnya. Kata kawannya, anak-anak tidak boleh disuruh-suruh mengerjakan pekerjaan rumah. Dari cara bertutur Athifah, jelas sekali kalau si anak merasa keberatan. Katanya, si kawan ini biasa disuruh oleh orang tuanya untuk mengerjakan aneka pekerjaan rumah.

“Memangnya temanmu itu disuruh apa?”

“Disuruh cuci piring, mengepel, masak, cuci mobil.”

“Wah bagus, dong, masih kelas empat es de sudah bisa cuci mobil. Nanti temanmu cepat mandiri.”

Tapi setelah itu mama berpikir lagi ... apakah tidak kebanyakan ya pekerjaan rumah yang harus dikerjakan kawan Athifah itu? Hebat juga anak kelas 4 sudah disuruh mengepel, memasak, cuci mobil. Mama saja tak tega kalau menyuruh Athifah mengerjakan banyak pekerjaan rumah tangga.

Makassar, 25 Mei 2017

Sumber gambar: www.pixabay.com


Ngobrol Cantik dengan IWITA

$
0
0
“Perempuan harus mengenal potensi dirinya dan berani tampil untuk saling menginspirasi” – quote inspiratif ini tertera di bawah nama dan foto Mbak Martha Simanjuntak, founder dan chairlady IWITA (Indonesia Women IT Awareness) di website IWITA. Saya bertemu dengan Mbak Martha pertama kali saat sosialisasi Serempak.id (website Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2016 di Hotel Four Points Makassar. Beruntung sekali saat Mbak Martha bersama IWITA datang ke Makassar pada tanggal 10 Mei lalu, saya kembali bisa bertemu dengannya.


Melalui Mbak Yulia Rahmawati, Mbak Martha mengundang Abby Onety, A. Bunga Tongeng, dan saya makan (menjelang siang) bersama. Selain Mbak Martha dan Mbak Yuli dari Jakarta, juga ada Mbak Winwin Faizah (pemenang kontes foto bercerita IWITA dari Bojonegoro yang ternyata sudah lama berteman di Facebook dengan saya) dan Pak Bagus (ketua IWITA Sulawesi Selatan), acara makan kami hari itu di restoran Lae Lae berlangsung hangat.

Kedatangan rombongan dari pulau Jawa itu berkaitan dengan sebuah seminar pendidikan untuk guru yang diselenggarakan di SMK Kehutanan (SMK Widya Nusantara) di Maros. Abby jadi salah satu peserta seminar yang diselenggarakan tanggal 11 Mei di Maros. Usai makan, obrolan kami berlanjut di Regus, di gedung Graha Pena Makassar.

Di R. M. Lae Lae, foto: dari akun Facebook Mbak Martha

Kebetulan ruang 530 yang biasa Abby dan saya tempati bisa menampung kami semua. Keadaan Regus yang ber-AC mampu meredakan kegerahan kami sesiangan itu. Melalui kaca jendela tembus pandang di ruang 530, terlihat suasana di sekitar Graha Pena. Hal ini menambah sejuk suasana kala Makassar sedang panas-panasnya. Di Regus sebenarnya ada 3 ruang meeting tapi ruang 530 sangat memadai untuk kami. Dengan view-nya yang istimewa, kami sungguh merasa nyaman.

IWITA adalah sebuah organisasi nirlaba yang berdiri pada tanggal 9 April 2009, berakta notaris, berkedudukan di Jakarta, dan mempunyai daerah operasional di seluruh Indonesia. Visinya semula adalah: terwujudnya perempuan Indonesia tanggap Teknologi Informasi melalui advancement, learning, implementation dan socializationsehingga perempuan dapat berperan dan berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun pada perjalanannya, perhatian IWITA tidak semata-mata fokus pada perempuan saja. Anak masuk dalam lingkup perhatiannya (sebagai bagian dari perempuan sebagai ibu) dan lelaki (atau suami, sebagai bagian dari perempuan sebagai istri).

"Dari ruang 530 Regus Makassar, Abby Onety melaporkan."
Foto: dari akun Facebook Mbak Martha

“Kita mulai di Facebook. IWITA ingin merangkul semua (elemen masyarakat) karena bekerja sendiri itu lelah,” kata Mbak Martha.

Topik pembicaraan lebih banyak kepada peran perempuan sebagai seorang ibu dalam membangun keluarga. Perempuan harus sadar akan posisinya yang membutuhkan keluarga.

Work life balance harus ada bagi perempuan yang sudah berumah tangga. Me time penting. Passion is energy but don’t forget that we are women. Harus sadari, kita – perempuan, butuh keluarga, butuh teman, dan orang lain,” tutur Mbak Martha.

Mbak Martha menyampaikan keprihatinannya dengan banyaknya perempuan yang menggugat cerai suaminya hanya karena alasan “ekonomi”. Hal ini seolah-oleh menunjukkan bahwa perempuan bisa mandiri. Padahal selanjutnya, setelah perceraian yang paling menderita adalah si perempuannya. “Memangnya kenapa kalau gaji istri lebih tinggi daripada suami?” Mbak Martha melemparkan tanya kepada semua yang hadir dalam ruangan.

Perempuan harus saling mendukung. Foto: Abby Onety

Saya senang menyimak diskusi ini karena Mbak Martha tidak berusaha mendominasi pembicaraan. Sesekali ia melempar tanya dan mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan oleh yang memberi tanggapan. Joke-joke segar juga terselip di sela-sela diskusi yang seius tapi santai ini.

Saya setuju dengan Mbak Martha. Kalau bisa dikomunikasikan, saling menghargai, dan saling berbagi peran dalam rumah tangga, alasan ekonomi karena penghasilan suami lebih rendah daripada penghasilan istri bukanlah alasan yang tepat untuk bercerai.

Komunikasi yang baik memang besar sekali pengaruhnya bagi keharmonisan rumah tangga. Mana ada, sih rumah tangga yang sama sekali tak ada masalah di dalamnya? Mbak Martha juga share mengenai bagaimana dirinya mengkomunikasikan mengenai pengasuhan anak dan berbagi pekerjaan rumah tangga dengan suaminya. Kini di rumahnya, semua anggota keluarga bisa berbagi pekerjaan rumah.

“Saya setuju, Mbak. Komunikasi memang besar sekali pengaruhnya dalam berumah tangga,” ujar saya.

“Satu lagi, kompromi,” tambah Mbak Martha.

Di depan Graha Pena. Foto: dari akun Facebook Mbak Martha

Iya, saya setuju. Dalam perjalanan rumah tangga yang baru 18 tahun (saya menikah tahun 1999. Ralat, ya Mbak Martha dan teman-teman, tempo hari saya bilang kalau saya nikah tahun 2001. Salah haha, tahun 2001 itu tahun kelahiran putra sulung saya. Duh, sampai lupa 😅).

Di awal pernikahan, saya melihat teman-teman waktu itu mirip dengan saya. Ketika ada masalah, langsung jutek sama suami tanpa membicarakannya sama sekali. Harapannya suami bisa langsung mengerti ada yang mengganggu perasaan dan pikiran istrinya. Nyatanya: TETOT. Itu reaksi yang salah! Lelaki itu makhluk yang tidak akan menduga-duga kalau tidak kau beri tahu apa masalahmu. Tak kau katakan berarti bahwa kau tak punya masalah, begitu yang di pikirannya. Kecuali 1 di antara 1.000 (atau bahkan sejuta) lelaki, ada yang bisa membaca isi hati dan pikiran istrinya sebelum istrinya berbicara.

Saya jadinya belajar mengkomunikasikan dengan suami bila ada masalah. Saya katakan apa masalahnya, apa solusinya menurut saya, dan saya katakan apa kemauan saya. Kalau perlu, saya tanyakan apa kemauannya. Saya berusaha menjaga kalau ada masalah, orang tua saya tidak pernah tahu apa yang terjadi meski kami tinggal satu rumah. Saya berlatih untuk mengungkapkan kemarahan dengan cara yang tepat kepada suami.

Selain itu, Mbak Martha juga menuturkan perlunya melakukan hal spesial yang menunjukkan penghargaan kepada suami atau “wilayah privat istri bersama suami”. Misalnya saja, Mbak Martha tidak akan membiarkan orang lain yang bukan kerabat terdekatnya untuk masuk ke kamar tidur, termasuk kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur pribadinya. Bahkan sampai urusan kebersihan pada kedua ruang itu, Mbak Martha mengerjakannya dengan tangannya sendiri.

Dapat merchandise dari IWITA (baju kaos, handuk, dan bantal)
Yeayy. Terima kasih Mbak Martha. Foto: A. Bunga.

Seru sekali diskusi kami hari itu. Topik pembicaraan bukan hanya pada peran perempuan. Kami juga berbincang tentang anak-anak dan tentang lelaki namun topik yang paling dominan adalah tentang perempuan. Semua yang sudah berumah tangga/memiliki anak ikut sharing. Seperti Pak Bagus yang di rumahnya tak segan mengurusi ketiga putrinya dan Bunga berbagi mengenai kreativitas putra sulungnya dalam mengeluarkan pendapat yang ditujukan kepada ibunya di media sosial. Sayangnya saya tak bisa menuliskan semuanya.

Ah, senang sekali bisa saling berbagi seperti ini. Sesama perempuannya harusnya bisa saling menguatkan. Sama seperti Mbak Martha, saya juga menyayangkan sesama perempuan yang suka memberikan komentar menjatuhkan kepada perempuan lain yang sedang menghadapi masalah. Bahkan kalau dia tak begitu kenal sosok yang bermasalah, ada saja dari makhluk yang bernama perempuan yang tega memberikan komentar menyakitkan. Kenapa, ya? Apa karena perempuan merupakan makhluk yang harus menghabiskan 20.000 kata dalam sehari (sementara lelaki hanya 7.000 kata – ralat, tempo hari sepertinya saya salah menyebut angka) sehingga kalau tidak habis dia akan mengatakan apa saja bahkan yang tak ia pahami? Entahlah, mari kita cari tahu bersama.

Makassar, 26 Mei 2017

Untuk informasi lebih lanjut tentang Regus, silakan langsung ke:

    Baca juga:

    5 Alasan Memberi Pelajaran pada Oknum Driver Taksi Online yang Nakal

    $
    0
    0
    Saya jadi ketagihan memanfaatkan layanan GoJek sejak mendapatkan hadiah voucher GoPay. Hadiah itu saya peroleh saat menghadiri pertemuan dengan GoBox, sebuah bagian dari layanan yang disediakan GoJek Indonesia. Mulanya, karena masih pakai HP lama yang hanya support sinyal internet 3G, voucher GoPay hanya saya pakai satu kali, untuk membeli makanan.

    Setelah berganti HP yang bisa support sinyal 4G, saya baru merasakan kemudahan menggunakan aplikasi GoJek. Apalagi sinyal dari kartuXL paket Xtra Combo yang saya gunakan terbilang lancar dari lokasi tempat tinggal kami. Memindai lokasi dengan GPS, proses order, memantau driver secara real time dari peta yang tersedia di aplikasi menjadi sangat mudah secara online. Dengan adanya pilihan transaksi menggunakan saldo GoPay (sebagai uang elektronik) dan penebusan aneka merchant dan jasa dengan menggunakan GoPoints, membuat saya semakin bersemangat menggunakan GoJek sebagai alternatif utama moda transportasi untuk saya dan anak-anak, terutama ketika pak suami sedang tidak berada di rumah.


    Yang saya manfaatkan dari 15 jenis jasa yang ditawarkan GoJek, baru 4 jenis ini: GoRide, GoSend, GoFood, dan GoCar. Saya suka dengan kemampuan sistem mendeteksi posisi driver membuat pelanggan bisa melihat mana driver yang baik dan mana yang nakal. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi pelanggan. Beberapa kali saya mendapatkan driver yang baik. Ada yang rela berputar-putar mencari jalan gara-gara terhalang demonstrasi dengan tarif yang tetap seperti semula demi mengantar kami hingga tujuan. Ada yang rela menelepon supaya saya membatalkan orderan karena toko yang dituju tutup dan ada yang rela membayar uang parkir tanpa diganti. Untuk driver yang baik, kompensasi berupa 5 bintang dan/atau tip secara spontan saya berikan.

    Namun, beberapa kali pula saya mendapatkan driver yang nakal. Ada yang memutar dulu ke mana-mana padahal sudah mengonfirmasi menjemput, alih-alih langsung datang menjemput. Katanya akan tiba dalam sekian menit, eh ternyata tibanya bisa selama 3 kali sekian menit itu. Bahkan ada yang membuat saya menunggu hingga 2 jam sampai-sampai makanan yang dipesan dingin dan rasanya kurang sedap. Yang paling nakal adalah yang mengonfirmasi telah menjemput dan mengantar saya hingga di tujuan padahal saya tidak ke mana-mana.

    Syukurnya, saat kejadian itu, HP saya sedang dalam kondisi bagus. Sinyal internet pun bagus. Jadi proses klarifikasi yang terjadi saat menghadapi oknum driver itu bisa berlangsung dengan baik. Pada mulanya, saya belum menyadari kalau si driver ini melakukan kenakalannya dengan sengaja. 

    Saat bungsu saya secara tidak sengaja memesan GoCar, saya langsung berusaha membatalkannya. Ya, kejadiannya bermula dari bungsu saya sendiri yang menekan tombol memesan GoCar ketika dia memainkan HP saya. Begitulah kalau sinyal internet lancar jaya, ya. Bahkan anak kecil pun bisa memesan GoCar dengan cepat. Begitu tahu ada orderan dari HP, saya langsung meminta maaf kepada pak driver dan mengatakan akan membatalkan pesanan. Si bapak sopir itu berkata, “Iya Bu, tidak apa-apa.”

    Maka secepat kilat saya berusaha membatalkan pesanan. Anehnya, walau berkali-kali saya tekan tanda silang, orderan tak bisa dibatalkan. Tidak mungkin. Soalnya saya pernah membatalkan orderan dan berhasil. Mengapa kali ini tidak bisa? Nah (baru saya ketahui belakangan, saat berbincang dengan seorang sopir GoCar), hal ini bisa terjadi karena si sopir sudah menekan button pada aplikasi driver yang menyatakan dia telah menjemput dan mengantar saya ... hingga di tujuan!

    Ini simulasi saja (saat saldo GoPay saya tinggal Rp. 3000 😀
    Saat itu masih cukup banyak. Jadi, si bungsu tinggal pilih alamat
    penjemputan dan tujuan, otomatis terpilih GoPay, tidak
    dia ubah, lalu klik "Order GoCar", maka orderan berjalan
    berkat sinyal internet yang lancar.

    Paniknya saya ketika melihat aplikasi, si driver sedang bepergian bersama saya dan kemudian sampai ke tujuan” lalu saldo GoPay saya terpotong. Sementara itu, saya terus mencoba cancel dengan menekan tombol silang dan restart HP tetapi tak kunjung berhasil. Saya juga berusaha menelepon nomor customer service yang berada di Jakarta. Butuh waktu lebih 10 menit hingga berhasil berbicara dengan bagian customer service karena sistem telepon hunting berkali-kali menyatakan sedang sibuk dan operator telepon "official" (nomor lain) yang saya gunakan kurang bagus koneksinya sehingga saya harus mengulangi panggilan. Pegawai-pegawai bagian CS yang menerima telepon meladeni saya dengan baik. Terdengar dari caranya bereaksi, mereka mendengarkan dan mencatat keluhan saya.

    Saya sungguh menghargai respon positif dari GoJek Indonesia. Selain berkomunikasi via telepon, saya menuliskan detail kronologinya melalui e-mail karena ada permintaan tanggapan masuk via e-mail. Meskipun harus mengulangi penjelasan saya sampai 3 kali – mungkin begitu standardoperation procedure-nya, akhirnya GoJek menyampaikan permintaan maafnya dan akan mengenakan sanksi bagi driver-nya yang nakal itu. Tidak menunggu lama, saldo GoPay saya yang sudah terpotong dikembalikan.

    Mungkin tidak seberapa, nilai saldo yang terpotong. Hanya sebesar Rp. 15.000. Tetapi saya pikir perlu memberikan pelajaran kepada oknum sopir yang nakal itu, dengan alasan sebagai berikut:
    1. Dalam Islam, jual-beli (termasuk jasa) harus “suka sama suka” atau sama-sama ridho, seperti yang tertera dalam sebuah ayat al-Qur’an yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” [An-Nisaa': 29]. Nah, saya tidak rela diperlakukan seperti itu maka saya mengusahakan hak untuk menggugatnya sekaligus memberikannya pelajaran.
    2. Kalau dibiarkan, dia bisa berulah lagi kepada pelanggan lain. Kasihan pelanggan lain, kan?
    3. Jika tidak dipermasalahkan, bisa jadi akan makin banyak driver yang mengikuti cara curang yang dilakukannya. Bakal berabe kan kalau jumlah oknum sopir taksi online yang nakal makin banyak?
    4. Lalu, siapa yang jadi rusak nama baiknya? Tentu saja pihak perusahaan: GoJek Indonesia. GoJek Indonesia itu selalu mengupayakan komunikasi terbaik guna mencari cara yang terbaik agar pelanggannya puas. Tak banyak perusahaan seperti GoJek yang sampai berulang kali meminta penggunanya untuk menilai kinerja driver dan pegawainya. Sangat tidak etis kalau sampai ada driver yang merusak nama baiknya maka sebisa mungkin sebagai pelanggan, kita membantu dalam kebaikan.
    5. Alasan terakhir dan yang paling utama adalah: jangan dikira karena yang memesan seorang mamak, bisa diperlakukan seenaknya. Mamak-mamak juga bisa bersikap tegas dan mampu menggunakan gadget dengan baik. Mamak melek internet, gituloh!

      Jangan seenaknya kepada #MamakDigital

      Jadi, pesan moral tulisan ini adalah: hati-hati berurusan dengan mamak-mamak, apalagi jika dia seorang blogger yang didukung dengan gadget dan senantiasa online berkat sinyal internet yang mantap. Bakal kena batunya kau driver nakal! Eh 😜


      Makassar, 28 Mei 2017


      Catatan:
      Gambar-gambar selain screenshot berasal dari pixabay.com.

      Benar-Benar Anak Kalian?

      $
      0
      0
      “Saya memang anaknya Mama dan Papa, toh?” entah dapat ilham dari mana Athifah menanyakan hal ini pada suatu siang.

      “Lha, iyalah. Kan sudah berapa kali Mama bilang kalau wajahmu itu mirip Papa,” tegas Mama lagi. Mama memang sudah beberapa kali mengatakan kepada Athifah dan Papa bahwa wajah keduanya itu mirip. Sampai-sampai Mama berniat ingin memotret mereka berdua ketika sama-sama sedang tertawa lebar dan sedang duduk bersisian. Karena kemiripan keduanya terlihat amat jelas - seterang matahari siang, ketika mereka tertawa lebar sehingga rahang mereka kelihatan. 



      Sayangnya moment-nya tak pernah pas. Ketika ayah dan putri itu sedang tertawa lebar dan duduknya bersebelahan, saat itu Mama sedang tak memegang HP atau sedang dalam kondisi tak mungkin untuk membidiknya. Di saat Mama sedang serius meng-on-kan fitur kamera di ponsel, eh keduanya sedang tidak dalam moment tertawa bersama.

      “Kenapa bertanya seperti itu, kah?” Mama bertanya pada putri mungilnya.

      Ndak ji,” hanya sependek ini jawaban Athifah.

      Heran juga. Apakah pengaruh kisah dan cerita fiksi tentang anak angkat sampai Athifah bertanya demikian? Ah, nona mungil ini imajinasinya ke mana-mana sampai-sampai membawanya ke kehidupan nyata. Untungnya Mama punya bukti kemiripan wajahnya dengan Papa tak bisa dibantah.  


      Makassar, 3 Juni 2017

      Sumber foto: www.pixabay.com

      Baca juga tulisan-tulisan lain di kategori (label) Namanya Juga Anak-Anak yaa, ada banyak cerita seru di sana 😊

      Sintamilia – The Real Mompreneur and Blogger from Bandung

      $
      0
      0
      Mengasyikkannya blog walking itu kalau tulisan kawan blogger yang blognya disambangi mengalir. Tidak terasa saja sudah beberapa tulisan terbaca. Apalagi kalau tulisan-tulisannya informatif atau edukatif, atau inspiratif. Memang, sih membaca tulisan di blog itu biasanya seperti sedang ngobrol dengan si empunya blog. Di sini bedanya dengan menulis di media mainstream ataupun di media online yang pakai aturan baku dalam menulis. Dalam ngeblog, Anda akan sering mendapatkan tulisan yang saat membacanya Anda akan merasa seperti sedang bercakap-cakap dengan penulis blognya.

      Nah, salah satu yang baru saya sambangi dan saya rekomendasikan adalah blog kepunyaan Sintamilia di http://www.sintamilia.com ini. Tidak terasa, sekali duduk saja saya sudah membaca beberapa tulisannya termasuk yang mengetengahkan tentang bisnis online. Hal yang jarang saya lakukan (membaca beberapa tulisan dalam sekali duduk).


      Sinta, blogger Bandung beranak satu ini memang giat menjalankan bisnis online. Selain itu, dia senang belajar lika-liku bisnis online dan menuliskannya di dalam blog. Mungkin alasannya sama seperti salah satu asalan saya dalam ngeblog, yaitu untuk mendokumentasikan pengalaman. Namun bagi saya, Sinta lebih dari sekadar menuliskan dokumentasi pengalamannya, dia itu the real mompreneur and blogger. Nanti saya paparkan mengapa saya katakan tulisannya lebih dari sekadar dokumentasi.

      Menarik sekali membaca tulisannya yang berjudul Pengalaman Seru Belajar di Mentoring Jualan Online Batch 1 Free. Di situ Sinta memaparkan bagaimana kelas yang diasuh secara online oleh Andre Hanusa (namanya mirip penyanyi yang top tahun 90-an, ya: Andre Hehanusa) memberikannya tambahan wawasan meski gratis.
      Untuk yang FREE, syarat agar tetap bisa ngikutin semua materi kan harus selalu mengerjakan tugas. Kalau gak setor, bakal dikeluarindari grup. Sementara untuk yang PREMIUM alias bayar, gakngerjain tugas juga ga akan di DO.

      Tulisan ini kemudian menjadi lebih dari sekadar dokumentasi bagi saya karena tiga alasan berikut:
      1. Saya jadi mengenal siapa itu Andre Hanusa dan sekilas stalking akun Facebook dan website-nya.
      2. Wawasan saya mengenai seluk-beluk  berjualan online bertambah dengan membaca tulisan Sinta.
      3. Sinta mempromosikan jenis barang jualannya, villa kepunyaan uwaknya sekaligus mempromosikan pelatihan yang diselenggarakan oleh Andre Hanusa.
      Nah ketiga hal ini merupakan manfaat ngeblog. Kembali kepada niat penulisnya, manfaat seperti ini akan menjadi amal baik.


      Lalu begitu saja, jari-jemari membawa saya membaca tulisan-tulisan Sinta yang lain. Berkutnya saya masih tertarik membaca pengalamannya sebagai mompreneur. Saya membaca tulisan berjudul Satu Alasan Orang Menolak Produk yang Anda Tawarkan. Tulisan ini berisi curhat bermanfaat ala Sinta tentang SPG (Sales Promotin Girl) yang praktik cross selling dengan cara tidak tepat.
      Cross selling dilakukan SETELAH konsumen MEMBELI sesuatu. Tujuannya adalah agar konsumen semakin banyak belanjanya. Seperti di mini marketyang kasirnya selalu nawarin pulsa tiap ada yang SELESAI belanja. Lah ini? Saya beli aja belum. Kan baru lihat-lihat..

      Saya membaca tulisan ini dengan sungguh-sungguh sampai habis. Saya seperti orang yang sedang menjalankan bisnis saja sampai sebegitu seriusnya menyimak tulisan Sinta. Ya, bisa jadi, suatu saat saya jad pebisnis, tulisan ini akan sangat bermanfaat bagi saya - aamiin. Sekali lagi, saya menemukan kekuatan pemaparan Sinta dalam tulisan ini. Lagi-lagi, sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui, seperti pada tulisan terdahulu. Di tulisan ini:
      • Sinta menuliskan mengenai bagaimana praktik cross selling yang pernah dipelajarinya dengan cara unik: membuat percakapan imajiner antara seorang SPG dan seorang calon pembeli.
      • Tulisannya memberikan tambahan wawasan, membuat orang jadi paham bagaimana cara cross selling yang baik dan benar.
      • Dengan cerdas, Sinta menyelipkan “pesan sponsor” mengenai produk yang sedang dijualnya.
      Cara menulis Sinta sungguh keren. Sekali lagi saya terpesona!

      Begitulah, saya lalu membaca tulisan-tulisannya yang lain seperti Dear Customersyang Butuh Urgent, Segeralah Pergi ke Pasar!, Pengalaman Transaksi dengan Seller Menyebalkan di Shopee, dan 3 Benda yang Kita Butuhkan untuk Jadi Pebisnis Online Ideal.

      Bukan cuma itu tulisan Sinta yang menarik. Semua hal dituliskannya dengan cara yang mengalir yang asyik, seperti bertutur. Sintapandai menyelipkan pesan-pesan dalam setiap tulisannya (terutama pesan sponsor hehe) tanpa pembaca merasa dia sedang beriklan. Begitu pun dalam menyampaikan pesan moral yang diyakininya, dia menuliskannya tanpa menggurui. Kalau tidak percaya, simak, deh tulisannya yang berjudul #SaturdayLove Merebut pacar orang lain itu SAH! (isinya tentang topik hot tahun lalu yang saya baru tahu ... ck ck ck, ke mana saja saya selama ini?).

      Makassar 4 Juni 2017

      Keterangan:
      • Foto-foto berasal dari blog Sintamilia.
      • Untuk Arisan Link Grup 4 komunitas Blogger Perempuan.




      Catatan buat Sinta:
      1. Kenapa belum update blog lagi sejak April? Sayang, lho.
      2. Perhatikan URL judul tulisan, jangan sampai ada yang terpotong. Kalau kata mereka yang jago SEO, itu juga harus diperhatikan. Saya lihat judul tulisan Sinta, pada URL banyak yang terpotong secara tidak pas. Sekadar masukan saja, yaa. Bukan berarti saya lebih jago.
      3. Keep blogging, yah. Sinta sudah punya banyak kelebihan dalam menulis. 

      MIWF 2017: Tentang Ruang Bersama yang Membincang Keberagaman

      $
      0
      0
      Seperti pada tahun-tahun lalu, Makassar International Writers Festival (MIWF) kembali di gelar pada tahun 2017 ini, tepatnya pada tanggal 17 – 20 Mei 2017, berpusat di Fort Rotterdam, Makassar. Seperti biasa, ada banyak kegiatan. Sambung-menyambung dan berlangsung paralel. Bahkan ada yang berlangsung di lokasi-lokasi di luar Fort Rotterdam, seperti di UNM (Universitas Negeri Makassar), UIM (Universitas Islam Makassar), dan Same Hotel. Saya akui, panitia semakin cerdas membuat ragam kegiatan. Kegiatannya makin beragam, pun semakin ramai.

      Seperti biasa pula, berhubung banyak kegiatan yang bentrok dengan urusan domestik maka saya harus benar-benar memilih yang mana yang akan saya hadiri. Pada hari pertama saya mengikuti Panel Discussion: Ruang Bersama, Living in Diversity di Museum I Lagaligo (14.00 – 15.30). Dipandu host Olin Monteiro, ada 4 panelis yang secara bergantian memaparkan pengalaman dan pembelajaran mereka tentang keberagaman. Keempat panelis tersebut adalah: Yerry Wirawan, Sofyan Syamsul, Eko Rusdianto, dan Maman Suherman.

      Saya datang terlambat. Yerry Wirawan sudah hampir mengakhiri penuturannya ketika saya berada di dalam ruangan. Saya hanya menangkap penuturannya tentang hubungan antara orang China dan Makassar.

      Sumber foto: fan page Facebook MIWF 2017

      Secara keseluruhan, ruang bersama untuk keberagaman yang diusung masing-masing panelis adalah yang ada dalam gambaran dan pengalaman mereka. Saya masih menangkap rasa kecewa dan rasa marah dalam narasi Eko Rusdianto yang bercerita tentang pengungsi dari Timor Leste yang ke Sulawesi Selatan. Ada yang diculik oleh oknum tentara dan dibawa ke Sulawesi Selatan. Ada yang hidupnya menjadi lebih baik tapi ada juga yang tidak menjadi lebih baik karena tercabut dari akarnya. Sorry to say, rasa kecewa dan marahnya berulang kali saya rasakan.

      Maman Suherman yang akrab saya sapa Kang Maman menceritakan tentang pengalamannya menjadi minoritas karena dianggap orang Jawa (padahal ayahnya orang Sunda – ibunya orang Makassar) saat bersekolah dasar di Makassar. Lalu bagaimana kisah penulisan novelnya yang menuliskan kisah pelacur lesbian yang malang dan bagaimana banyak orang menghukumi yang seperti ini di masyarakat seolah-olah jalan tobat tertutup, ditambah sulitnya keluar dari dunia hitam karena penjagaan ketat dari pihak yang tak mau mereka keluar karena memanfaatkan kenaifan mereka. Tersirat dari kata-katanya, Kang Maman bukan membenarkan lesbianisme apalagi pelacuran lesbian, hanya saja dia menyayangkan betapa sulitnya kembali kepada keadaan semula saat sudah masuk ke dalam dunia itu.

      Sofyan tidak banyak menceritakan tentang kisahnya dalam kehidupan sosial dan kemanusiaan seperti yang ada pada profilnya di website Makassarwriters.com: a professional photographer and journalist who is interested in social life and humanity. Dia menceritakan sedikit kisahnya, misalnya saat ngopi-ngopidi warung kopi yang ada pelanggannnya dari warga keturunan Tionghoa. Di mana pada mulanya ada semacam sekat tak kelihatan yang membuat mereka hanya minum di meja yang sama dengan yang seras dengannya. Perlu kebesaran jiwa untuk mencairkan kebekuan yang terasa.

      Di akhir diskusi, saya menyaksikan satu per satu panelis dan peserta pergi sendiri-sendiri seperti saat mereka datang dan bicara sendiri-sendiri. Di sini saya melihat Ruang Bersama masih sebatas angan yang subyektif. Memang belum bisa dirumuskan seperti apa Ruang Bersama yang bisa merangkul semuanya. Barangkali memang belum ada solusi karena masih sebatas share pengalaman. Setidaknya itu sebuah langkah maju.

      Well, tidak ada yang salah. Barangkali saja memang harus dimulai dari embrio yang nanti tumbuh menjadi bayi, anak-anak, lalu manusia dewasa. Semoga saja kelak akan ada Ruang Bersama yang bisa merangkul semuanya tanpa ada yang kecewa (mungkinkah?).

      Namun saya berharap, di Ruang Bersama – Ruang Bersama lainnya, tak ada yang melontarkan istilah “sentimen beragama” karena pada dasarnya tak ada agama yang menyintemeni agama lain. Juga tak terlontar kata-kata, “Ada apa dengan bangsa ini?” – saat menyikapi ketidakadilan. Karena bukan bangsa Indonesia yang bersepakat melakukan ketidakadilan, melainkan OKNUM.

      Kalau oknum, iya ada. Bagusnya dalam Ruang Bersama, yang ada hanya kata-kata positif. Dan semoga kalaupun masih ada kekecewaan dan kemarahan, bisa dituturkan dengan lebih lembut dan bijak sampai-sampai peserta yang hadir tak merasakannya lagi. Sebab untuk apa ada Ruang Bersama kalau kekecewaan dan kemarahan tak diletakkan di tempat lain dulu dan benar-benar membicarakan hal yang menarik dengan kepala dingin di Ruang Bersama?

      Maafkan saya. Pada siang itu, saat yang saya amati begitu subyektif, saya pun menjadi begitu subyektif. Ini catatan pribadi saya semata, bukan tentang yang benar dan yang salah. Yang jelas, saya pun memimpikan Ruang Bersama yang semua orang, apapun latar belakangnya nyaman berada di sana tanpa takut dibunuh karakternya atau fisiknya dengan semena-mena. Karena hanya Allah lah yang Maha Penghukum dan Maha Pengampun.


      Makassar, 5 Juni 2017

      Bukan Sekadar Enggan Berbicara

      $
      0
      0
      Pernahkah Anda berada dalam situasi merasa seperti kelebihan beban karena banyaknya informasi yang tidak diduga terekam oleh indera sehingga Anda tidak tahu hendak mengatakan apa? Sampai perlu waktu sekian lama untuk mengendapkannya dan memikirkannya hingga akhirnya memutuskan untuk menuliskannya? Menulis dianggap perlu, untuk membantu mengurai benang kusut yang terasa di benak dan perasaan untuk kemudian melihat dengan lebih jelas. Pernahkah?

      Saya pernah. Beberapa kali, malah. Seperti yang terjadi baru-baru ini hingga saya menuliskan tulisan MIWF 2017: Tentang Ruang Bersama yang Membincang Keberagaman. Juga ketika saya menuliskan MIWF 2016: Colliq Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature. Ketika waktu mengendapkan terasa cukup, tiba-tiba saja keinginan menulis begitu kuat lalu jadilah tulisan-tulisan itu.



      Kalau Anda pernah mengalaminya, apa yang menjadi alasan paling kuat untuk diam dulu? Kalau saya, karena topiknya begitu berat bagi saya dan berseliweran aneka hal terkait itu di dalam diri saya. Benar-benar speechless! Berbicara seketika tidak akan membantu apa-apa. Semua informasi yang tercerap begitu cepat, abstrak, dan kusut. Butuh waktu mengurainya. Jika memaksa diri berbicara saat itu maka kata-kata yang keluar tidak akan sama dengan apa yang kemudian dituliskan. Bisa jadi hasil berbicara yang dipaksakan malah buruk atau tak pantas. Jadi, sikap terbaik adalah diam dan kata-kata terbaik adalah saat dituliskan (meski belum tentu terbaik menurut orang lain).

      Dengan membiarkannya mengendap dulu, ada ruang dan waktu untuk mengolahnya. Hasil olahannya, ya tentunya tetap perspektif saya betapa pun saya mencoba obyektif. Lalu saya meletakkannya di rumah pribadi (blog ini) untuk jadi penanda atau pengingat bagi saya, sekaligus untuk berpendapat. Saya pun berharap buat anak-cucu kelak, bisa dijadikan pelajaran (yang saya harap) berharga. Atau suatu ketika nanti, bisa saja akan ada kegunaannya lagi buat saya untuk hal lain yang tidak terduga. Untuk orang lain, minimal untuk diketahui saja bahwa ada yang seperti ini. Demikian kalau kasusnya tak bisa terkatakan seketika.

      Oya, biasanya kalau topik pembicaraan ringan atau tidak begitu berat, saya mengusahakan berbicara di forum (misalnya ketika mengikuti pelatihan yang saya tuliskan di Menuju Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan). Biasanya setelah itu, saya menuliskannya. Ada juga tulisan yang lahir karena pendapat tidak bisa terkatakan karena tak mendapat kesempatan atau tidak ditanggapi detail oleh nara sumber. Atau bisa juga karena ditanggapi salah oleh nara sumber sementara saya tak bisa mengklarifikasi, seperti di tulisan: Curhat Tak Kesampaian di Diskusi Publik Media dan Isu Kekerasan pada Perempuan dan Anak.

      Lalu setelah itu, bagaimana? Sesuai saran seseorang yang saya anggap guru, saya akan mencoba terus “menginterogasi” tulisan-tulisan saya. Kata beliau: “penulis yang reflektif adalah penulis yang tak pernah lelah menginterogasi apa saja yang telah dituliskannya”.

      Well, saya mencoba melakukan yang terbaik (lagi-lagi menurut saya) karena ada dorongan kuat untuk menulis dari dalam diri. Bukan dorongan untuk merusak, hanya untuk melakukan yang terbaik.

      Adakah yang pernah mengalami hal yang sama?

      Makassar, 6 Juni 2017

      Bukan Siapa-Siapa

      $
      0
      0
      Bukan Siapa-Siapa

      Siapa dia?
      Dia bukan siapa-siapa
      Yang tak tunduk pada sesiapa
      Dia hanya pengelana
      Yang mencoba menggapai cinta Sang Maha Cinta
      Lalu kelak pulang ke kesejatian beserta rindu yang membara

      Siapa saya?
      Saya hanya manusia biasa
      Yang tertatih-tatih mengikuti langkahnya

      ***

      Itu salah satu status Facebook saya beberapa waktu yang lalu. Kata seorang kawan yang membacanya, "Ternyata Kak Niar puitis juga, ya?"😊

      Puitis? Entahlah. Tapi sesekali saat tidak bisa menulis panjang, saya memilih menulis pendek saja. Hasilnya ya puisi bebas seperti itu (mudah-mudahan memang pantas disebut sebagai puisi, hehe).

      Untuk menyuarakan isi hati saja. Bahwa saya punya garis batas yang jelas bagi saya. Orang lain pasti tidak melihatnya dengan jelas. Apa yang tertulis selama ini tidak bisa mengungkapkan semuanya.

      Usaha saya menulis hanyalah untuk melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan. Seperti puisi bebas, di rumah maya ini saya juga punya kebebasan – kebebasan yang terbatas, bukannya kebebasan tak berbatas – untuk mengungkapkan isi hati tanpa perlu tunduk pada sesiapa, hanya berusaha mengikuti arahan Sang Maha Cinta.


      Makassar, 7 Juni 2017

      Sumber gambar: www.pixabay.com

      Tentang Fatwa Terbaru MUI, Buzzer, dan Bagaimana Menyikapinya

      $
      0
      0
      “Jadi buzzer haram!”begitu saya baca sebuah komentar menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)[1]yang diumumkan pada hari Senin tanggal 5 Juni lalu. Fatwa bernomor 24 Tahun 2017 tentang HUKUM DAN PEDOMAN BERMUAMALAH[2]MELALUI MEDIA SOSIAL dibacakan oleh Sekretaris Komisi Fatwa MUI – DR. Asrorun Ni'am.

      Istilah buzzer sudah lama terdengar, makin marak ketika Pemilihan Kepala Daerah DKI pada tahun 2012[3]. Para buzzer politik ini kembali ramai jadi pembicaraan pada Pemilihan Presiden tahun 2014. Sampai-sampai ada acara-acara televisi yang membahasnya secara khusus. Secara luas, tugas para buzzer media sosial ini adalah memberikan citra positif terhadap sosok calon pemimpin tertentu atau produk melalui penyebaran kontennya di media sosial. Kemudahan yang disediakan teknologi, termasuk dalam mengakses internet sangat menguntungkan para buzzer beraktivitas. Para penggiat media sosial tentu tahu seperti apa ragam konten itu tersebar di dunia maya.


      Memang, secara tertulis fatwa untuk umat Islam yang baru dikeluarkan ini amatlah panjang. Mencakup uraian terkait ketiga hal ini: Menimbang, Mengingat, dan Memutuskan. Lalu dalam hal Memutuskan, diuraikan lagi secara panjang lebar mengenai:
      • Ketentuan Umum.
      • Ketentuan Hukum.
      • Pedoman Bermuamalah.
      • Rekomendasi.
      Pada Pedoman Bermuamalah, terdapat lagi penjelasan panjang mengenai 4 hal berikut:
      • Pedoman Umum.
      • Pedoman Verifikasi Konten/Informasi.
      • Pedoman Pembuatan Konten/Informasi.
      • Pedoman Penyebaran Konten/Informasi.

      Video berasal dari channel YouTube Latest News Today

      Jadi Buzzer Itu Halal Namun Harus Memperhatikan Hal-Hal Ini


      Dalam fatwa tersebut disebutkan kata “buzzer”, tepatnya sebanyak dua kali. Nah, bagi yang masih mengira buzzer itu haram, di sini saya pindahkan dua hal yang disebutkan tentang buzzer di dalam fatwa MUI tersebut, yaitu:

      1. Pada bagian aktivitas yang diharamkan dilakukan muslimin di media sosial (dalam hal Ketentuan Hukum):


      Aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah[4], bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenissebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.

      2. Pada bagian yang menguraikan cara memastikan kemanfaatan konten/informasi (dalam hal Pedoman Pembuatan Konten/Informasi) :


      Tidak boleh menjadikan penyediaan konten/informasi yang berisi tentang hoax, aib, ujaran kebencian, gosip,dan hal-hal lain sejenisterkait pribadi atau kelompok sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, seperti profesi buzzer yang mencari keutungan dari kegiatan terlarang tersebut.

      Nah, jelas kan, ada penjelasan lengkap tentang ini. Yang tidak dibolehkan adalah melakukan buzzing atau provokasi yang menyertakan konten yang:
      • Hoax : kabar bohong atau mengungkapkan hal yang tidak benar.
      • Ghibah sama dengan gosip: menggunjing atau mengobrolkan mengenai hal negatif tentang seseorang atau sesuatu.
      • Fitnah: menuduh pihak lain tentang sesuatu yang tidak benar.
      • Namimah: adu domba, maksudnya melakukan hal dengan tujuan mengadu domba.
      • Bullying: menyerangatau menganiaya pihak secara psikis maupun fisik.
      • Aib: malu, maksudnya menyebarkan aib atau kekurangan/kecacatan sesuatu atau seseorang yang bisa menimbulkan rasa malu dari yang bersangkutan.
      • Mengandung ujaran kebencian: mengatakan hal-hal yang menunjukkan kebencian pada pihak lain.


      Lalu, bagaimana menjabarkan hal-hal tersebut mengingat standard pribadi tiap orang (bukan hanya buzzer, temasuk semua orang dalam bermedia sosial. Seseorang yang tidak dalam posisi sebagai orang bayaran pun secara tidak sengaja sering kali menjadi seperti buzzer, misalnya dalam mengusung/mengelu-elukan (calon) pemimpin yang disenanginya) berbeda-beda?

      Sumber foto: news.liputan6.com

      Standard yang Harus Dijalankan Seorang Muslim (Termasuk Buzzer)dalam Bermedia Sosial


      Yup, ukuran yang dipakai masing-masing orang berbeda-beda. Bisa jadi seseorang menuliskan hal yang dia pikir biasa saja sementara orang lain yang membacanya eneg karena menilai orang tersebut telah melakukan hal-hal yang dilarang/diharamkan dalam Islam.

      Nah, cara-caranya juga dijabarkan di dalam fatwa MUI. Lengkap sekali. Kita bisa membacanya di dalam dua bagian:

      1. Dalam hal “Memutuskan” di bagian Ketentuan Hukum


      Cara memastikan kemanfaatan konten/informasi antara lain dengan jalan sebagai berikut:
      • Bisa mendorong kepada kebaikan (al-birr) dan ketakwaan (al-taqwa).
      • Bisa mempererat persaudaraan (ukhuwwah) dan cinta kasih (mahabbah).
      • Bisa menambah ilmu pengetahuan.
      • Bisa mendorong untuk melakukan ajaran Islam dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
      • Tidak melahirkan kebencian (al-baghdla') dan permusuhan (al-'adawah).
      • Setiap muslim dilarang mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan secara syar'iseperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang bertikai (ishlah dzati al-bain).


      2. Dalam hal “Memutuskan” di bagian Pedoman Pembuatan Konten/Informasi:


      Cara memastikan kebenaran dan kemanfaatan informasi:
      • Tidak boleh menyebarkan informasi yang berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis yang tidak layak sebar kepada khalayak.
      • Tidak boleh menyebarkan informasi untuk menutupi kesalahan, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.
      • Tidak boleh menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke ranah publik, seperti ciuman suami istri dan pose foto tanpa menutup aurat.
      • Setiap orang yang memperoleh informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain tidak boleh menyebarkannya kepada khalayak, meski dengan alasan tabayyun.
      • Setiap orang yang mengetahui adanya penyebaran informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain harus melakukan pencegahan.
      • Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dengan cara mengingatkan penyebar secara tertutup, menghapus informasi, serta mengingkari tindakan yang tidak benar tersebut.
      • Orang yang bersalah telah menyebarkan informasi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis kepada khalayak, baik sengaja atau tidak tahu, harus bertaubat. dengan meminta mapun kepada Allah (istighfar) serta; (i) meminta maaf kepada pihak yang dirugikan (ii) menyesali perbuatannya; (iii) dan komitmen tidak akan mengulangi. 



      Menyikapi fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial, sebagai seorang muslim, yang sebaiknya kita lakukan adalah:
      1. Menghormati dan menaati ulama dan lembaga ulama kita dengan introspeksi dan berbenah diri, lalu sungguh-sungguh memperbaiki langkah-langkah ke depannya untuk melakukan hal-hal bermanfaat di media sosial dan juga di kehidupan nyata (sebagai muslim, kita harus menaati ulama - QS Annisa' ayat 59).
      2. Menjadi pribadi yang berintegritas dalam bermedia sosial. Integritas adalah: mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran (KBBI).
      3. Memanfaatkan fasilitas yang disediakan provider sebaik mungkin untuk hal-hal positif. Misalnya fasilitas gratis Facebook-an 30 MB per hari, kuota paket data terakumulasi tiap bulan ke bulan berikutnya, gratis menelepon ke operator lain, biaya hanya 1 rupiah per detik ke operator lain, gratis menelepon via WA dan Line, gratis YouTube-an, dan gratis akses Yonder,Tribe, dan Genflix dari XL plus kecepatan sinyal 4G-nya yang amat mendukung dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan dan persatuan bangsa.
      4. Menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, seperti yang tercantum dalam bagian terakhir (Rekomendasi) fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.


      Well, are you a muslim?
      If the answer is “yes”, so let’s do the right and best things.

      Makassar, 9 Juni 2017




      [1]Selengkapnya, silakan baca di: https://news.detik.com/berita/d-3520881/isi-lengkap-fatwa-mui-soal-hukum-dan-pedoman-bermedia-sosial
      [2]Muamalah: hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (KBBI).
      [3] Sumber: http://realita.co/mengenal-pasukan-media-sosial-buzzer
      [4]Namimah: adu domba.

      4 Alasan untuk Nonton Televisi

      $
      0
      0
      Di zaman yang serba internet ini, televisi masih menjadi primadona. Itu menurut saya. Ada hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh internet melalui gadget ataupun laptop dalam menggunakan televisi. Dari keempat alasan mengapa masih memerlukan televisi, ada satu alasan yang tidak bisa digantikan oleh gadget mana pun dan masih banyak orang yang mencari kenikmatan ala-ala nonton di bioskop (bioskop masih tetap ramai, kan?). Nah, karena ukuran layar gadget, ataupun yang laptop yang terbatas. Sementara televisi memiliki ukuran layar yang jauh lebih besar. Untuk ruang nonton yang cukup besar, masih memungkinkan sekeluarga nonton televisi bersama.



      Ada 4 alasan yang menurut saya, masih menempatkan televisi sebagai primadona:

      1. Mendapatkan informasi terkini dalam wilayah lokal, nasional, dan internasional.

      Berhubung kami tak berlangganan surat kabar, televisi menjadi media tercepat penyampai peristiwa yang sedang hangat melalu siaran-siaran berita (news) dan tayangan talkshow. Buat saya, televisi melengkapi keberadaan internet karena tidak semua yang saya lihat sehari-harinya di lini media sosial saya peroleh di televisi. Berita hangat tentang Panglima TNI, Gatot Nurmantyo misalnya, saya ketahui dari acara talkshow di televisi.

      2. Mendapatkan informasi baru

      Jujur, saya sering mendapatkan informasi baru dari televisi. Maksudnya, informasi yang benar-benar baru saya ketahui. Misalnya tentang sebuah pulau yang spesies tanamannya sebagian besar (berkisar 80 – 90 persen) merupakan tanaman endemik (hanya tumbuh di daerah itu). Saya juga banyak mendapatkan informasi mengenai gaya hidup masa kini bahkan yang tak pernah saya lihat sekali pun.

      3. Anak-anak belajar hal yang baik/benar dan tak baik/tak benar dari acara yang ditontonnya.

      Syukurnya tayangan televisi sekarang sudah memberi tanda “BO”. Stasiun-stasiun televisi sekarang lebih peduli memberi tanda BO (Bimbingan Orang tua) dalam menayangkan sebuah acara sehingga orang tuanya waspada dengan tontonan yang dilihan anaknya. Orang tua bisa menjelaskan hal-hal yang baik/benar dan buruk/salah dari tontonan tersebut. Sementara untuk tayangan bertanda khusus untuk orang dewasa atau tayang di tengah malam, orang tua bisa menasihati anaknya untuk tidak menontonnya.

      4. Sarana merekatkan keluarga

      Tak seperti internet yang hanya bisa diakses oleh 1 – 2 orang bersamaan dari layar yang sama, televisi bisa diakses oleh seisi rumah, asalkan semuanya kompak menonton acara yang sama. Kebersamaan di depan layar televisi bisa makin merekatkan hubungan keluarga ketimbang sibuk sendiri-sendiri dengan gadget masing-masing. Sesekali kami sekeluarga nonton acara yang sama dan menimpali apa yang tengah ditayangkan. Menurut saya, ini menjadi bentuk pembelajaran tersendiri juga. Karena anak-anak bisa belajar dari kata-kata yang terlontar, mana yang pantas dan mana yang tak pantas. Juga bisa diarahkan untuk mengeluarkan komentar yang lebih bijak.

      Nonton televisi bersama di ruangan seperti ini pasti nyaman sekali dan
      bisa merekatkan hubungan kekeluargaan.

      Dari 4 hal yang saya uraikan di atas, jelaslah bahwa dengan menonton televisi pun, literasi media kepada anak bisa dilangsungkan. Dengan pesawat televisi yang memadai seperti televisi Sharp LED TV LC-24LE170i-TT 24 Inch, bisa lebih efektif dan efisien dalam mengajak keluarga berliterasi media.

      Mengapa? Karena TV Sharp memiliki tampilan visual terbaik dalam format High Definition. Fitur Antenna Booster yang dimiliki TV ini juga dapat memperkuat sinyal frekuensi radio lemah, sehingga kualitas gambar menjadi lebih baik. Menonton televisi Sharp dengan kualitas gambar yang lebih baik, tentunya akan lebih menyenangkan satu keluarga, bukan?

      Selain itu Fitur Eco Mode pada televisi Sharp dapat menghemat konsumsi daya listrik selama menggunakan televisi ini. Nah, keuangan keluarga bisa lebih hemat, deh. Ah ya, mengapa yang saya tuliskan di atas televisi ukuran 24 inci, bukannya yang lebih besar? Karena, untuk luas ruangan di rumah kami, ukuran 24-an inci lah yang memadai.  Pun begitu, Televisi Sharp juga dibandrol dengan harga yang cukup ramah di kantong.

      Terakhir, yang penting diketahui adalah sebelum mengajarkan anak-anak tentang literasi media, orang tuanya yang terlebih dulu harus belajar literasi media. Bagaimana mau mengajarkan kalau justru orang tuanya tak melek media? 😁


      Makassar, 10 Juni 2017

      Daftar Harga Walkie Talkie dan Kiat Membelinya

      $
      0
      0
      Kalau anak-anak di zaman sekarang dengan mudahnya menemukan gadget yang membuat mereka terkesima, saya dulu cukup memandang penuh rasa ingin tahu terhadap benda bernama walkie talkie. Beberapa jenis pekerjaan masih memerlukan alat bantu komunikasi ini, seperti security di mal-mal besar dan tentu perusahaan mereka akan mencari daftar harga walkie talkietersebut. Walkie talkie merupakan salah satu jenis alat komunikasi dan bisa pula disebut HT (handy talkie), dengan ukuran mungil. Biasanya digunakan untuk komunikasi jarak dekat misal di dalam satu area pabrik namun ada pula tipe tertentu yang memungkinkan dipakai untuk jarak jauh. Seperti HT yang dipergunakan oleh petugas kepolisian yang biasanya dipakai berkomunikasi dengan seluruh jajaran aparat.



      Pentingnya Menilik Daftar Harga Terlebih Dahulu

      Penyediaan walkie talkie terbilang penting terutama untuk area kerja yang memang terbilang luas dan melibatkan karyawan atau petugas dalam jumlah banyak. Paling mudah dijumpai pengguna alat komunikasi ini adalah security untuk membangun komunikasi antar sesama anggota. Sehingga fungsinya terbilang vital guna mengecek kondisi area yang tengah dipindai kemudian melaporkan kondisinya pada komandan atau anggota keamanan lainnya.

      Sebagai alat komunikasi tentu fungsinya tidak hanya sebagai media melakukan laporan, ternyata, Kawan. Masih ada yang lainnya lagi. Misalnya, nih untuk keperluan memanggil salah satu anggota komunitas karena ada suatu keperluan, sehingga bisa langsung terhubung (pernah lihat event organizer yang anggotanya menggunakan benda ini, kan?). Sebab walkie talkie ini memakai sistem kode yang bisa dihubungkan dengan antar anggota langsung melalui cara menekan kode unik tersebut. Kegunaannya pun semakin luas sehingga efektif mempermudah kinerja dari petugas, terutama yang memang bertugas di lapangan.

      Ketika ada rencana untuk menyediakan walki talkie di tempat kerja tentunya tidak bisa hanya membeli satu atau dua buah. Tentunya harus disesuaikan dengan semua jumlah anggota atau karyawan, maka dari itu, penting sekali mencari daftar harga walkie talkie. Manfaat (sekaligus kiat) mencari (daftar harga) benda ini antara lain:

      1. Lebih cermat menyiapkan anggaran,
      Mencari daftar harga sebelum melakukan belanja akan memiliki waktu cukup menyiapkan anggaran yang sesuai kebutuhan. Anda bisa mengira-ngira berapa anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan walkie talkie dalam jumlah yang pas, sehingga tidak perlu bolak-balik ke penjual alat komunikasi satu ini.

      2. Menghindari kemungkinan jumlah tidak sesuai,
      Kalau belanja secara asal dan tidak mengetahui kisaran harga walkie talkie yang pas dengan kebutuhan. Selain salah dalam memilih produk bisa pula berakibat keliru dalam menentukan jumlah sehingga bisa kurang atau sebaliknya. Apabila jumlah kurang maka perlu kembali berbelanja lagi untuk produk yang sama sehingga membuang waktu yang lumayan. Jikalau sebaliknya, dimana jumlah yang dibeli berlebih akan ada yang tidak terpakai lama dan membuang banyak anggaran.

      3. Menentukan produk terbaik dan bergaransi,
      Daftar harga yang Anda temukan atau dapatkan dijamin tidak hanya berisi informasi mengenai deretan harga produk walkie talkie di sebuah toko. Melainkan dilengkapi dengan keterangan tambahan mulai dari spesifikasi, fitur tambahan, dan lain sebagainya. Adanya informasi daftar harga memungkinkan Anda untuk mencari produk terbaik sebab sudah tahu mereknya apa saja. Sehingga bisa mencari ulasannya di internet, kemudian bisa memastikan walkie talkie yang dipilih memberikan garansi.

      4. Tepat dalam memilih harga,
      Mencari tahu informasi harga walkie talkie dijamin memberi manfaat utama, mempermudah urusan menentukan pilihan harga. Anda akan dengan mudah mengetahui walkie talkie mana yang memang murah sampai yang termahal. Menentukan pilihan bisa berdasarkan kualitas maka pada akhirnya akan memilih yang paling mahal. Sementara pilihan kedua adalah berdasarkan anggaran, jika memang terbatas maka akan lebih aman memilih daftar harga walkie talkie yang paling murah atau setidaknya mudah dijangkau.



      Ah ya, satu lagi tentang benda yang pertama kali  dibuat pada tahun 1937 oleh seorang penemu asal Kanada yang bernama, Donald Lewes Hings ini, yaitu sekarang terdapat aneka walkie talkie yang bisa dimainkan anak-anak. Bagus, kan Pak, Bu ... jadi alternatif mainan ketimbang anak main gadget terus. Semoga postingan kali ini membantu, ya.


      Makassar, 15 Juni 2017

      Keterangan: gambar-gambar berasal dari bukalapak.com

      Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Bermedia Sosial

      $
      0
      0
      Apa yang beredar di media sosial tak hentinya membuat saya terkaget-kaget. Meski tahu beredar aneka konten, mulai dari yangpositif sampai yang negatif, tetap saja saya kaget ketika rasa ingin tahu membawa saya melihat ucapan-ucapan kebencian dan bully dari mereka yang merasa dirinya paling benar.


      Dalam sebuah kejadian, ibaratnya ada yang menyalakan lilin tapi karena ada yang terganggu oleh nyala lilin lalu dia mematikan nyala lilinnya. Tahu-tahu ada orang yang datang ke tempat itu, berusaha kembali menyalakan ... API. YA, API, bukan sekadar lilin. Dia membawa bensin dan membakar tempat itu lalu berteriak-teriak seolah-olah yang menyebabkan kebakaran adalah orang pertama yang menyalakan lilin! Ini kejadian terakhir yang saya saksikan. Saya memakai ibarat karena sungguh, kata-katanya di dala tulisan sedemikian kasarnya seolah-olah dengan berkata-kata kasar dia sudah menjadi lebih baik daripada orang pertama yang “menyalakan lilin” itu.

      Well, media sosial memang membuat orang-orang menjadi semakin mudah melampiaskan apa saja di akun-akun media sosialnya. Tidak heran ika akhirnya MUI menganggap perlu mengeluarkan Fatwa Tentang HUKUM DAN PEDOMAN BERMUAMALAH MELALUI MEDIA SOSIAL bagi para warga negara muslim.

      “Fatwa memberi penguatan kepada aturan. Ada ayat dan hadis di dalamnya, jadi kepatuhan terhadap UU sebagai warga negara dan sebagai umat beragama bisa bersinergi karena kita mau menjadi warga negara dan umat beragama yang baik. Jangan dipertentangkan. Kta ingin dua-duanya bersinergi,” demikian ditegaskan oleh Prof DR. H. M Ghalib MA(Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan) pada pertemuan dengan para blogger di Hotel Clarion membahas Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Beredia Sosial pada tanggal 16 Juni.

      Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia berinisiatif mengadakan acara ini dengan mengundang dua nara sumber lainnya, yaitu: Dr. Heri Santoso(Kepala Pusat Studi Pancasila UGM) dan Handoko Data(Tim Komunikasi Presiden).

      Memberikan sambutan, Ir. H. A. Hasdullahdari Dinas Kominfo Sul Sel, Bidang Pemberdayaan TIK, Statistik, dan Persandian, menyambut baik acara ini. Ia menyampaikan mengenai gerakan netizen yang dipromotori Kominfo Sul Sel, menggerakkan 1000 relawan dari mahasiswa untuk membantu bagaimana memberikan pemahaman pada pengguna medsos baik dalam lingkunagn keluarga dalam lingkungan sosial terutama memanfaatkan medsos dala tema AYO SANTUN. Dengan demikian diharapkan warga menjadi santun dan produktif dalam bermedia sosial.

      Acara yang berlangsung sejak pukul 2 siang ini dibuka oleh Direktur Kemitraan Komunikasi – Dedet Surya Nandika, mewakili Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

      Konflik Membutuhkan Penerapan Nilai Pancasila

      Heri Santoso mengawali pemaparannya dengan menjabarkan mengenai konflik di dalam dunia nyata dan dunia maya:

      • Masing-masing dunia memiliki dasar aturan main dan kriteria nilai” baik-buruk, benar-atau salah, indah-jelek, suci-kotor”.
      • Masalah muncul jika ada konflik tentang dunia, aturan main, dan kriteria nilai.

      Dunia nyata menggunakan referensi seperti kitab suci atau aturan negara. Sementara di dunia maya, orang cenderung lebih seenaknya. Di media sosial tidak ada aturan level penggunaan menyapa orang padahal dalam dunia nyata, dalam budaya Jawa misalnya ada aturan itu. Ulama sekelas Gus Mus saja di-bully. Di sinilah pentingnya aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sementara sebenarnya “Pancasila digali dari nilai-nilai budaya kita” – demikian kata Heri.

      Sebagai dasar negara, PANCASILA juga menjadi falsafah hidup bangsa maka PANCASILA seharusnya digunakan dalam bermasyaraat di Indonesia. Kalau untuk bermasyarakat, PANCASILA konsekuensinya menjadi atuan main kita bersama. Karena adanya perbedaan dalam berkomunitas dan bermasyarakat dalam berbagai latar belakang.

      Heri mengingatkan bahwa ada 3 tantangan yang harus kita waspadai:

      • Merealisasikan cita-cita Bersama (merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan m,akmur)
      • Ada kerapuhan internal bangsa ini (korupsi, kolusi, reproduksi, kekerasan, sex bebas, narkoba)
      • Proxy war (terorisme, HAM, disintegrasi bangsa, khilafah, komunisme, dll).

      “Blogger jangan mudah diadu domba. Jadikan blog sebagai medan amal,” pungkas Heri.


      Prof DR. H. M Ghalib, M. MA menjelaskan latar belakang munculnya Fatwa MUI terpanjang itu, sebagai berikut: penggunaan medsos seringkali tidak disertai dengan tanggung jawab sehigga menjadi sarana penyebaran informasi yang tidak benar, hoax, fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni dosial yang bisa menyebabkan mafsadah di tengah masyarakat.
      Dasarnya ada beberapa adalah ayat al Qur’an dan hadis.

      Handoko Data mengingatkan kepada para peserta bahwa Indonesi itu dari Sabang sampai Merauke.

      Ia memperlihatkan kepada kami video mengenai perkembangan pemerintahan ini kita berada dalam tahun ketiga dan visi presiden. Visi Presiden Jokowi adalah:
      Kita harus menjadi bangsa yang maju, yang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Percepatan pembangunan mutlak diperlukan Tanpa kerja sama dan gotong royong kita akan digulung oleh arus searah. Dengan kerja nayata bangsa kita bisa jadi bangsa pemenang, berdaulat maju. Sekarang ini biduk kita sedang berlayar menuju ke sana. Menuju ke kemajuan Indonesia raya.
      Sungguh video yangs angat menggugah. Membuat semangat saya membara kembali. Bulu-bulu kuduk terasa merinding. Keberhasilan pembangunan yang fokus kepada 3 hal ini diperlihatkan melalui video satu menit: Infrastruktur, Pembangunan manusia, dan Deregulasi ekonomi. Di Sulawesi Selatan, pembangunan yang sudah dilakukan banyak. Di antaranya Bendungan Karalloe Kawasan Industri Bantaeng, Jalan dan jembatan Middle Ring, dan Pembangunan bandara.

      Semoga apa yang disampaikan hari ini membawa semangat baru kepada para blogger Makassar sehingga semakin bersemangat menyebar kebaikan, bukannya keburukan.  Oya, subscribe channel YouTube Sudutistana, jika ingin tahu perkembangan sekitar istana, jangan sekadar membully dari luar, hehe.

      MIWF 2017: Ketika Kampung Literasi Memuat Perpustakaan Bergerak

      $
      0
      0
      Keluar dari Ruang I Lagaligo, usai menghadiri Ruang Bersama di Makassar International Writers Festival (17 Mei lalu), saya mengikuti ajakan Kang Maman Suherman ke taman, tempat digelarnya Kampung Literasi. Kampung Literasi tidak ada di dalam daftar acara resmi MIWF. Saya berani memastikan ini acara tambahan pada MIWF. Sebelumnya saya sempat bertemu seorang panitia yang mengatakan ada beberapa acara yang belum masuk pada run down yang pertama kali dicetak.


      Karena penasaran walau belum tahu apa itu Kampung Literasi, saya mengikut saja karena Kang Maman adalah sosok yang paling saya anggap cocok untuk saya ikuti sesi-sesinya diMIWF sehubungan dengan aktivitas ngeblog dan menulis yang saya sukai.

      Anang - Noken Pustaka
      Di taman, di lokasi yang dimaksud hanya ada satu bangku yang bisa ditempati 3 orang saja di situ. Kebanyakan orang duduk di atas rumput di sekitar bangku. Saya salah satunya. Mbak Tarrence dan kawan-kawannya dari Kompas yang menjadi sponsor sesi ini membagi-bagikan kue-kue untuk dinikmati bersama. Wuih, ini sesi yang asyik. Sambil merumput, makan kue!

      Kompas setiap tahunnya mengadakan kompetisi menulis  untuk perpustakaan-perpustakaan bergerak di Indonesia. Pemenangnya diundang ke Jakarta dan mendapatkan hadiah buku dan mendapatkan pembinaan. Nah, sesi kali ini memang membahas mengenai tiga gerakan perpustakaan bergerak yang luar biasa. Para relawannya tampil membagikan ceritanya.

      Siapa sajakah mereka? Ada As’ad Sattari dan Tajriani Thalib dari Armada Pustaka Mandar (Sulawesi Barat), Anang dan Safei dari Noken Pustaka (Papua Barat), dan Darmawan Denassa (yang akrab disapa Denassa) dari Rumah Hijau Denassa (Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan).

      Denassa - RHD
      Berawal sejak tahun 2015, kini Armada Pustaka punya becak, motor, dan bendi, selain kapal tradisional Mandar pengangkut buku. Ada juga museum yang didirikan Ridwan Alimuddin – founder-nya. Kang Maman mengatakannya sebagai “museum pustaka besar dalam dunia maritim”, boleh dibilang menjadi museum bahari Mandar. Pilihan kapal, selain menjadi alat transportasi yang menarik bagi anak-anak, juga untuk merevitalisasi kebudayaan. As’ad yang datang dari Sulawesi Barat dengan perahu mengatakan bahwa mereka tak pernah mengajukan proposal kepada pemerintah tetapi mereka bisa menangani Armada Pustaka dengan baik.

      Safei dan Anang dari Noken Pustaka menceritakan bagaimana mereka dari kampung ke kampung berusaha menumbuhkan minat baca anak-anak Manokwari. Mereka berusaha memahami kebiasaan setempat dengan tidak mengubahnya, hanya mengarahkannya kepada kebiasaan membaca yang lebih baik. Anang mengatakan, dirinya tinggal tak menetap. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk membangun minat baca itu. Salut pada kedua lelaki yang berasal dari Sumatera Barat dan pulau Jawa ini.

      Sesi Kang Maman Suherman

      Terakhir, Denassa menceritakan tentang bagaimana anak-anak di sekitar rumahnya di Bontonompo menjadi terbiasa untuk belajar di RHD – Rumah Hijau Denassa. RHD adalah Kawasan konservasi dan edukasi yang dilengkapi dengan area konservasi, perpustakaan, tempat diskusi, ruang baca, pelataran, dan fasilitas pendukung lainnya.

      Denassa bukanlah nara sumber terakhir. Kang Maman membuat saya terpana dengan permainan kata-katanya. Lelaki yang berjuluk “pemulung kata” ini begitu cekatan menangkap kata-kata dan menyusunnya menjadi lebih bermakna. Bukan hanya aktif di belakang layar pada acara televisi ILK (Indonesia Lawak Klub), lelaki yang produktif menulis buku ini juga kelihatannya memang senang berbagi.

      Foto bersama. Oya, yang paling depan sebelah kiri itu As'ad Sattari

      Saat hujan turun dan kami terpaksa berlindung di pelataran salah sebuah bangunan di kompleks Fort Rotterdam, Kang Maman kembali melanjutkan sharing-nya. Saya sempat merekamnya sedikit. Cuma bisa sedikit karena memori HP tidak mampu merekam banyak-banyak 😊

      Dari banyak yang dijelaskannya, ada 5 proses berkarya melalui tulisan yang dibagikannya, yaitu: feeling, thinking, exploring, implementing, dan production. Kali ini, menyesal sekali saya tidak bisa menuliskan dengan detail karena catatan saya banyak yang terhapus. Mudah-mudahan dengan menyimak video yang (maaf) agak gelap dikarenakan cuaca gelap dan hujan, plus dengan kualitas HP yang pas-pasan ini (lengkap sudah), ada hal bermanfaat yang bisa Anda peroleh dari apa yang disampaikan Kang Maman dari secuplik penjelasannya di video yang saya sertakan di sini..


      Makassar, 18 Juni 2017

      Bully ... Oh ... Bully

      $
      0
      0
      "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela." (QS. Al-Humazah: 1).

      Mengapa tentang bullysaya tulis secara terpisah, alasannya adalah karena tulisan berjudul Mengaktualisasikan Nilai-Nilai Pancasila Melalui Flash Blogging sudah sangat panjang. Alasan lainnya adalah karena saya ingin lebih khusus membahasnya. Saya yakin akan menjadi satu tulisan tersendiri. Saya pun butuh figur tokoh untuk saya pinjam penjelasannya sebab kalau saya yang mengatakan, siapa yang akan percaya? Siapalah saya ini, kan. Hanya seorang makhluk dhaif nan fakir ilmu.

      Nah, mumpung ada tiga nara sumber pada ajang Flash Blogging bertajuk Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Bermedia Sosial, kenapa tidak saya pinjam perkataan mereka untuk saya kabarkan melalui blog ini. Siapa tahu saja ada manfaatnya.


      Banyak hal yang terjadi di dunia maya yang membuat saya resah nan gelisah. Banyak peristiwa bully dan saling bullydalam persepsi saya yang sama sekali tidak dirasakan sama oleh yang melakukan. Mereka tidak merasa sedang mem-bully. Namun berbeda halnya kalau mereka dalam posisi sebagai korban yang di-bully. Betapa mudahnya rasa terzalimi itu menguar.

      Kalau dalam perspektif saya, bully adalah tindakan menganiaya, baik secara fisik maupun psikis kepada sesuatu atau seseorang. Kalau kata “seseorang” jelas, ya yang dimaksud itu manusia. Kalau kata “sesuatu”, maksud saya di sini adalah bisa berarti sebuah keadaan yang diobrak-abrik sehingga membuat orang-orang pada keadaan itu yang semula merasa nyaman kemudian tidak merasa nyaman.

      Itu menurut saya, sih. Maka dengan definisi yang saya tetapkan, saya mencoba berhati-hati bersikap di dalam dunia maya (pun dunia nyata, tentunya) dalam bersikap (namun mungkin saya masih kebablasan 😓). Sampai saya menyaksikan begitu banyak kejadian bullying di media sosial yang ingin sekali saya hentikan (termasuk cara saya menghentikan adalah dengan menayangkan dan menyebarkan tulisan berjudul Tentang Fatwa Terbaru MUI, Buzzer, dan Bagaimana Menyikapinya), tetapi saya ternyata tidak berdaya.

      Maka di sesi tanya-jawab pada ajang Flash Blogging yang digelar KemKominfo pada hari Sabtu lalu, saya menanyakan definisi bully menurut ketiga nara sumber – Dr. Heri Santoso (Kepala Pusat Studi Pancasila UGM), Andoko Darta (Tim Komunikasi Presiden), dan Prof DR. H. M Ghalib MA (Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan). Saya menanyakannya karena seperti yang saya jelaskan di atas, pada kenyataannya, standard dan definisi orang tentang bully berbeda-beda, bisa sangat subyektif. Kalau saya mengutip jawaban para ahli, akan lebih kuat dalam menyampaikan kebenarannya kepada khalayak.

      Pak Heri Santoso mengatakan bahwa bully adalah tindakan kekerasan yang merugikan orang atau kelompok lain. Pak Heri membenarkan perkataan saya mengenai betapa subyektifnya orang memandang definisi ini. Bahkan, banyak kata telah mengalami pembelokan makna. Seperti halnya kata “radikal”. “Radikal[1]adalah ‘sampai ke akar-akarnya’. Sebagai orang Filsafat, saya harus berpikir radikal dalam mempelajari sesuatu,” tutur Pak Heri. Bukan hal yang negatif sementara sekarang banyak orang yang memahami istilah itu bermakna negatif. Saat ini, ada kata-kata yang dipakai untuk melabeli secara tidak fair. “Intinya: sebenarnya bahasa sangat kontekstual, dalam konteks apa kita gunakan,” pungkas Pak Heri.


      Mirip dengan yang dikatakan Pak Heri, Pak Ghalib mengatakan, “Bully itu menjelekkan dan menjatuhkan orang lain. Jangan memaki-maki, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan agar orang itu tidak disukai orang lain karena dia berbeda dengan kita.”

      “Dalam Islam, misi utama Nabi adalah misi akhlak karimah. Kasih sayang, baik dalam ucapan maupun tingkah laku. Bukannya kebencian,” pungkas Pak Ghalib.

      Pak Andoko mengaminkan apa yang dikatakan Pak Ghalib, “Saya ikut saja apa kata Pak Kiyai.” 

      “Sepatah kata bisa lebih menyakitkan dari sebuah pukulan,” lanjutnya lagi.

      Well, seharusnya sampai di sini sudah jelas, iya, kan? Belum tentu! Karena tiap orang bisa saja berbeda persepsinya. Misalnya tentang kata “memaki”. Walau di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), memaki adalah “mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyatakan kemarahan atau kejengkelan”, bisa saja bagi yang memaki dia mengaku tidak memaki karena tidak bermaksud (padahal beda lagi tuh bermaksud dengan mengatakan. Bermaksud adanya di hati, mengatakan adanya pada perbuatan, melalui mulut!).

      Mudah-mudahan tidak pada bingung baca tulisan ini. Kalau bingung, ya sudahlah. Kita lanjut saja ke bagian terakhir *eh, tidak ada pilihan lain, ya 😅*. Sekarang, kembali kepada diri kita masing-masing. Seberapa jujurkah kita menilai diri sendiri? Pahamkah kita dengan konteks “bully”? Terpikirkah kalau ada/banyak orang menilai/mengatakan kita sudah melakukan perbuatan bully sementara kita tak merasa demikian?

      Sudah, ah. Sampai di sini saja tulisan kali ini. Sekali lagi, karena saya bukan siapa-siapa maka tulisan ini bukanlah apa-apa. Tidak usah ditanggapi serius kalau tidak setuju. Silakan direnungkan kalau sepakat. Salam damai!

      Makassar, 18 Juni 2017




      [1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip).

      Sophie’s Cake: Nikmatnya Sensasi Rasa Permen Buah dan Cokelat

      $
      0
      0
      Sesekali berbuka puasa ala anti mainstream, ah. Kali ini pakai kue ulang tahun. Namanya simple saja: SOPHIE’S CAKE. Nur Hidayah, pemilik Sophie’s Cake tergabung dalam CCBC (Celebes Cooking and Baking Community), sebuah komunitas di Makassar. Informasi mengenai Sophie’s Cake saya peroleh dari CCBC.

      Waktu kuenya baru datang, anak-anak antusias. Hiasan di atas kue ulang tahun ini banyak, soalnya. Ada coklat dan aneka permen kekinian seperti marshmallow dan jelly (eh, atau keduanya sama, ya? Mirip sekali saya nyaris tidak bisa membedakan). Ada juga cone untuk es krim tergeletak di atas kue.


      Aroma yang menguar dari kue ini seperti menegaskan rasanya. Aroma permen rasa buah-buahan segar sejenak memenuhi rongga hidung ketika saya mencoba mengendus Sophie’s Cake. Wangi buah datang dari krim yang membungkus brownies cake cokelat. Juga dari aneka permen yang menghiasinya.

      Tampilan visualnya sangat menarik, sehingga saya harus beberapa kali menepis tangan Afyad yang hendak mempreteli topping kue. Saya kemudian buru-buru memasukkannya kembali ke dalam kardus kemasan, lalu ke dalam kantong plastik lantas kemudian memasukkannya ke dalam lemari es. Waktu berbuka puasa masih lebih dari enam jam. Kalau saya biarkan saja di atas meja, bisa-bisa jadi gundul tuh kue dipreteli sama Afyad yang durasi berpuasanya masih setengah hari.

      Sophie's Cake. Bagaimana anak-anak tidak tertarik mempretelinya, ya? 😀

      Alhamdulillah, Sophie’s Cake bertahan di kulkas hingga menjelang buka puasa. Sebelum berbuka puasa hari itu, saya memotong-motongnya lalu membagi-bagikannya kepada ketiga anak saya. Yang bikin heboh, ada perdebatan tentang siapa yang mau mendapatkan topping yang mana. Begitu deh anak-anak. Rasa kue menjadi pertimbangan kedua bagi mereka. Yang paling ribut tentu saja Athifah dan Afyad. Si sulung Affiq, karena dia sudah duduk di bangku SMA, sudah tidak rewel sekarang, bagian mana yang dikasih, dia terima saja. Yang jadi bahan rebutan paling heboh di antara Athifah dan Afyad adalah cone – benda yang biasanya ada pada kemasan es krim. Untungnya akhirnya kedua anak ini mau saling berbagi tanpa berseteru keras.

      Akhirnya tiba juga saat menyantap Sophie’s Cake. Penasaran sekali saya, ingin tahu apakah rasa kuenya sepadan dengan tampilannya yang lucu? Dulu, beberapa kali saya pernah kecewa karena rasa kue dibalik balutan krim dan hiasan kue warna-warni ternyata tidak memunculkan perasaan yang sama ketika menggigitnya.

      Sophie's Cake, aroma segar permen buah

      Tapi Sophie’s Cake berbeda. Rasa krimnya tidak asal-asalan. Sayang sekali, saya sekarang bukan pemakan krim kue ulang tahun jadi tidak bisa makan banyak. Sekarang saya membatasi memakan krim-kriman seperti ini. Takut efeknya ke kadar lemak dan kolesterol. Sewaktu kecil dulu, saya senang sekali menghabiskan bagian krim dari kue ulang tahun. Namun saya sempat mencicipi sedikit krim Sophie’s Cake. Enak. Tidak bikin eneg. Tidak terlalu manis dan ada cita rasa tersendirinya.

      Bagaimana dengan brownies cokelatnya?

      Ternyata rasa browniesnya juga enak. Pas di lidah saya. Tidak terlalu manis tapi terasa cita rasa khasnya. Tidak seperti kue ulang tahun yang pernah mengecewakan saya itu – yang hanya tampak indah di mata tetapi tidak indah di lidah itu. Brownies cake ala Sophie’s cake punya rasa yang memang bisa dijual. Yang saya maksud adalah dijual sebagai bahan kue ulang tahun.

      Pasti tak mudah mengombinasikan kue ulang tahun dengan krim, aneka hiasan di atasnya, dan cake-nya. Ketiganya harus berpadu sempurna sehingga kita bisa mengatakan rasanya enak atau tidak. Nah, bagi saya rasa Sophie’s Cake yang ini lezat. Perpaduan krim, aneka hiasan, dan cake menghasilkan cita rasa kue ulang tahun yang nikmat.

      Roti sobek (kiri) dan kue-kue ulang tahun lainnya dari Sophie's Cake (sumber: FB Nur Hdayah)

      Nur Hidayah menawarkan aneka ukuran (diameter) Sophie’s Cake dengan harga yang berbeda-beda: mulai dari ukuran 16 cm hingga 24 cm. Harga terendah berkisar di Rp. 70.000. Baru 3 bulanan ini dia menekuni usahanya tapi sudah banyak jenis kue yang dibuatnya. Anda bisa lihat di akun media sosialnya (IG: @nurhidayahdan Facebook: Nur Hidayah). Selain memproduksi kue ulang tahun, Nur Hidayah juga membuat kue jenis lain, lho. Ada Pie Buah, Cokelat Praline,  Baklava ala Sophie's Cake ukuran 18 cm, Napoleon, Klapertaart, Swiss Roll, Kurma Cokelat, dan kue-kue kering.

      Bila berminat, Anda bisa memesannya minimal sehari sebelumnya melalui nomor WA/Line/Telepon: 082320099700. Atau datang ke Jalan Teuku Umar 13, lorong 3 Nomor 3 (Makassar) untuk memesan. Setelah pemesanan baru, deh dibuatkan.

      Makassar, 19 Juni 2017


      #DukungProdukLokal
      Viewing all 2017 articles
      Browse latest View live


      <script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>